Enam Belas

2.2K 191 0
                                    

"Bunda udah di apartemen kamu Nia, baru aja selesai bersih-bersih ruangan. Kamu udah sampai mana?"

Rania mengkode seorang satpam tua untuk menghentikan mulutnya yang sedang berbicara tak henti itu. "Nia baru turun dari taksi, Bun. Ini lagi di tanya-tanya sama satpam apartemennya."

"Minta tolong sekalian sama satpamnya Ni, untuk bawakan koper kalau kamu capek."

Rania mengiyakan saja perkataan bundanya. Sesi tanya jawab dengan satpam sudah selesai, ia melanjutkan kembali perjalanannya menuju kamar apartemen. Sedari tadi ia menghirup napas dalam-dalam karena aroma udara yang menyegarkan ini terasa nikmat.

Pintu lift terbuka, ia masuk ke dalamnya. Menekan tombol sebelas untuk menuju kamarnya. Begitu sampai, suasana koridor kamarnya masih sama. Terdapat beberapa tumbuhan dan aquarium di luar ruangan. Itu milik tetangganya yang kenal dekat dengannya. Penghuni kamar-kamar di sekitarnya berarti masih orang yang sama.

Sampailah ia di depan pintu tujuannya. Menekan sandi yang sudah hafal di luar kepalanya. Sandi yang ia gunakan dengan tanggal lahir seseorang yang ia sukai sejak lama. Ternyata bundanya tidak mengganti sandi tersebut. Ia tersenyum kecil.

"Bun? Assalamu'alaikum! Nia datang!" Ia berteriak kencang begitu telah mengunci pintu kembali.

Sang ibu datang tergopoh-gopoh dari balik dapur. Mengerutkan keningnya seraya bertanya, "Lho, nggak sama Alfi kamu?"

"Nggak bun."

Ia langsung menjatuhkan diri pada sebuah sofa kesayangannya. Masih terasa nyaman sofa ini. Rasanya beda sekali dengan sofa di rumahnya.

"Di kamar aja tidurannya. Udah bunda bersihkan kok, Ni." Bunda agaknya risih melihat dirinya bergolek di atas sofa.

Ia bangkit berdiri meninggalkan sang ibu yang entah tengah melakukan apa di dapur. Kepalanya agak pusing dan matanya sedikit meminta untuk dipejam. Tadi malam ia memang kurang tidur. Karena hampir beberapa menit menuju alam mimpi, ia sok sibuk curi-curi pandang pada Alfi yang mencoba memejamkan mata.

*____*

Ia terbangun hampir petang. Diambilnya ponsel yang masih berada di dalam tas. Belum ada notifikasi pesan apapun dari laki-laki itu. Ia kembali meninggalkan ponselnya. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu tubuhnya sudah segar dan wangi, hatinya justru yang kalang kabut karena tidak menemukan wadah yang berisi pakaian dalamnya. Koper sudah dibongkar, isi tas ransel sudah ia keluarkan semua.

Tidak ada.

Tidak mungkin tertinggal di bandara, kan?

Diambilnya ponsel dan langsung saja ia mendial nomor yang sedari tadi ditunggunya mengirimkan pesan atau telepon untuknya. Nomor yang dituju aktif, namun tidak diangkat.

"Bun, pakaian dalam Nia kayaknya ketinggalan di rumah, deh."

"Kok bisa? Kamu gimana sih, persiapannya?"

Rania menghela napas panjang.

"Pakai punya bunda muat nggak, tuh? Coba dulu, gih!"

Ia sungguh tidak suka bagian tubuhnya menempel dengan baju luar. Sepertinya menerima tawaran bunda untuk mencoba pakaian dalam milik sang ibu patut ia lakukan.

Pakaian dalam bunda cukup muat di tubuhnya. Meski rasanya aneh, akan lebih aneh lagi jika tidak memakai apapun di dalam.

Bunda telah menyiapkan makan malam di meja makan. Sapo tahu dan perkedel kentang menjadi menu makan malam pertamanya di Malang. Laki-laki itu makan malam dengan apa ya, di sana?

"Besok pagi bunda balik ke Jakarta. Tadinya ayah mau jemput, tapi nggak jadi. Diganti sama Mas Faris yang jemput bunda. Palingan Mas Faris berangkat malam ini dari sana, mau minta tolong dibawakan pakaian dalam ke dia?"

Tanpa berpikir, Rania langsung menggelengkan kepalanya kencang-kencang. Bukan hal yang baik apabila ia meminta tolong pada kakak sulungnya itu. Terlebih minta dibawakan pakaian dalam. Laki-laki mesum itu pastilah akan bertingkah. Ia tidak mau berurusan dengan Mas Faris.

"Ya udah kalau gitu besok bunda temani kamu untuk bel—"

Suara ponsel sang ibu berdering keras. Cukup mengejutkan keduanya yang sedang bertatap muka sambil berbincang.

"Halo, Mas?"

"Faris baru berangkat, Mir! Besok kamu harus udah siap begitu Faris sampai! Kita ada acara di jam makan siang, pokoknya kamu harus udah sampai sebelum jam makan siang ya, Mirna!"

"Iya, Mas. Rania udah sampai, nih, nggak mau ngobrol dulu?"

Rania memalingkan wajahnya begitu terdengar suara telepon dimatikan. Sedang Mirna sendiri tersenyum ke arahnya sembari menaruh ponselnya pada kursi kosong di sebelahnya.

"Ayah lagi sibuk kali, ya." Ucap bunda menenangkan dirinya.

Tidak sibuk pun laki-laki itu enggan sekedar berbincang dengannya. Hidangan makan malam di piringnya sudah habis. Ia membantu bunda mencuci piring dan membereskan meja makan.

Malam ini keduanya akan tidur satu ranjang. Karena di apartemen ini hanya ada satu kamar dan satu tempat tidur.

Ia tidak langsung memejamkan mata. Masih setia membuka layar ponsel untuk memastikan laki-laki yang ia kirimi pesan dari tadi siang membalasnya. Sesibuk apa sih, laki-laki itu di sana? Bukankah dia bilang outletnya sepi pengunjung?

Ia punya nomor beberapa pegawai Alfi. Inginnya sih, menelepon pegawai-pegawai itu untuk memastikan apa yang sedang laki-laki itu lakukan sampai-sampai tidak membalas pesannya. Namun ia gengsi bukan main.

Ya ampun!

Mengapa hubungan jarak jauh sebegini peningnya?

Satu panggilan ia dapati. Hampir tengah malam dan laki-laki itu baru menghubunginya! Melantur kah, ia?

Panggilan berhenti. Tak lama, muncul kembali panggilan yang kedua. Ia tidak tahan untuk tidak mengangkatnya. Suara laki-laki itu langsung didengarnya. Ia melirik sedikit pada bunda yang sudah tidur lelap di sebelahnya. Takut-takut bunda memergokinya yang sedang senyum-senyum tak jelas hanya karena mendengar kembali suara itu setelah sekian jam telinganya tidak mendengar suara laki-laki itu.

"Udah tidur, ya? Kamu kebangun karena telepon dari aku, Ran? Ya udah, aku tutup teleponnya, kamu lanjut tidur lagi aja. Aku juga udah ngantuk banget."

Buru-buru ia menarik napas, memanggil nama laki-laki itu dengan sedikit berteriak, tidak disangka suaranya hampir membangunkan bunda.

"Alfi!"

"Jangan dimatikan dulu!"

Semua kejadian yang ia alami hari ini tidak terlewatkan satu pun untuk ia ceritakan pada laki-laki itu. Sebagaimana saat ia masih berada di sana. Alfi menjadi tempat membuangnya semua cerita hari-hari yang ia lalui.

"Kamu kalau teleponan keluar kamar aja deh, Ni. Berisik banget! Kayak yang udah lama nggak ketemu aja kamu, tuh! Tadi pagi kan, masih ketemu padahal sama Alfi."

Begitu telepon ia matikan, bunda bersuara di balik tubuhnya. Ternyata perbincangannya dengan Alfi didengar bunda.

"Maaf ya, Bun. Soalnya Alfi nggak ada kabar dari tadi siang, sih." Ia sedikit mengeluarkan tawanya. Agak malu kepergok teleponan dengan sang suami.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang