Empat

3.1K 224 6
                                    

Sudah lima belas menit Rania menunggu balasan pesan dari Alfi. Dua pegawainya sudah pulang. Toko sudah rapi ditutup. Ia menunggu seperti biasa di pinggir jalan. Tidak biasanya Alfi tidak membalas pesan selama itu.

Toko bunga miliknya berada di jalanan yang terbilang cukup lengang. Tidak banyak pengendara yang lewat jalanan ini. Sedikit tahu, tokonya berbatasan dengan sebuah perkampungan. Ia memilih ruko kecil ini untuk disewa karena harganya yang terbilang murah untuk ukuran sebuah ruko di Jakarta. Ya, resikonya tidak banyak orang tahu jika ada toko bunga disini. Maka itu, ia betul-betul tak henti melakukan promosi di berbagai sosial media.

Untuk mendirikan dan mengelola toko bunga ini, baginya bukan hal yang sulit. Ia sudah berpengalaman selama kurang lebih lima tahun untuk memegang kuasa di sebuah toko baju yang terkenal di daerah Malang. Hidup kadang di atas, kadang juga di bawah. Saat ini, ia dipilih Tuhan untuk merasakan kenikmatan berada di bawah.

Ia jadi tahu, bagaimana sulitnya merintis sebuah usaha yang benar-benar dari awal. Sulitnya, mencari partner kerja yang mempercayainya dalam segala hal. Dan, betapa sulitnya mempertahankan perkembangan usaha agar tidak turun dan tetap stabil, syukur-syukur naik.

Hembusan angin sore Jakarta menerpa wajahnya. Sedikit membuat rambutnya berantakan. Ponsel di tangannya masih belum bosan untuk ia amati. Sedang apa pula suaminya hingga tak membalas pesannya.

Ia berjalan kaki perlahan, berharap ada angkutan umum yang lewat di jalan sekitar ini. Sebetulnya ia ingin naik taksi, tapi mengingat harganya membuat ia kembali mengurungkan niat itu.

Pernah suatu hari, Alfi izin tidak bisa menjemputnya karena mobil miliknya harus masuk bengkel. Maklum, mobil yang Alfi punya kini dibeli bekas pemakaian orang lain. Saat itu pun, Alfi belum membeli motor. Ia memutuskan pulang naik taksi, begitu pembayaran ia dikejutkan dengan harga yang terbilang fantastis untuk sebuah perjalanan yang tidak kurang dari empat kilometer.

Sejujurnya ia baru merasakan sebuah harga jasa yang mencekik dirinya. Dulu, saat ia masih menjadi pengelola toko baju, tidak pernah sekalipun ia mengeluh soal harga jasa yang mahal.

Lagi-lagi ini karena keadaan ekonominya yang bisa dibilang sedang seret.

Sungguh dalam beberapa bulan ini hidupnya bak dibalikkan oleh tuhan secepat membalikkan telapak tangan. Pernikahannya dengan Alfi yang digelar dengan mewah seperti mimpi yang hanya lewat dalam tidurnya. Kemudian bangun dengan kondisi hidupnya yang nyaris berbeda dari sebelum dirinya menikah.

Ia baru kali ini merasakan kesusahan yang teramat sangat. Pernah pula, ia meminta liburan pada Alfi, namun tidak dihiraukan oleh laki-laki itu. Memang seharusnya ia mengerti dan peka akan keadaan hidupnya dengan Alfi saat ini. Ia dan Alfi benar-benar berdiri dengan kaki sendiri membangun rumah tangga. Ingin meminta bantuan pada orangtuanya pun, ia sudah segan lebih dulu. Ayahnya sudah tidak mau lagi mengangkat teleponnya. Merepotkan sang ibu, itu pun bukan jalan yang baik sebenarnya.

Suara klakson angkutan umum yang lewat di depannya menyadarkan dirinya bahwa ia sedang di pinggir jalan.

"Mau kemana, Mbak?" Seseorang di balik kemudi bertanya padanya.

"Perumahan Grand Tomang lewat nggak, Pak?" Ia balik bertanya.

"Lewat Mbak! Ayo naik!"

Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam angkutan umum. Menyatu dengan penumpang lain yang memandangnya dengan sinis. Didekapnya erat-erat tas yang ia bawa. Meski ini pertama kalinya ia menaiki angkutan umum, ia sudah tahu peraturan serta peringatan jika menaiki transportasi umum.

Dering ponsel bersuara dari dalam tas. Cukup kencang hingga membuat seisi penumpang semakin sinis menatap padanya.

"Halo Alfi?"

"Maaf Bu, ini bukan Alfi. Saya petugas dari rumah sakit Al-Husna, izin melaporkan atas nama Alfiansyah Zahab mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini saudara Alfiansyah sedang berada di UGD. Jika Ibu salah seorang yang mengenal saudara Alfiansyah, saya harap Ibu segera mengurus berkas dan administrasi untuk tindakan selanjutnya. Terima kasih sebelumnya, Bu."

Ya Tuhan! Jantungnya bertalu-talu keras sekali. Kabar itu betulan atau tidak, ya? Pikirannya seolah terhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, rumah sakit Al-Husna, dimana itu?

Ia mencoba menarik napas perlahan, berniat bertanya pada supir.

"Pak? Tahu rumah sakit Al-Husna, nggak?" Yang dipanggil melirik ke arah kaca spion dalam.

"Tahu, Mbak. Tapi saya nggak bisa antar, soalnya bukan rute saya itu."

"Kira-kira angkutan umum apa yang bisa antar saya ke sana, Pak?"

"Mbak naik angkutan kayak gini tapi warna biru tua, bilang sama supirnya turun di pangkalan ojek yang sebelum lampu merah. Terus Mbak naik ojek ke rumah sakit Al-Husna."

Ia segera mengangsurkan beberapa lembar uang, namun sang supir menolak dengan alasan bahwa dirinya baru saja naik beberapa menit.

Langkah kakinya dipercepat menuju angkutan umum yang dimaksud. Hembusan angin yang membawa debu menemani dirinya mengejar waktu. Melirik sekilas pada ponselnya, tidak ada pesan apapun yang masuk. Bagaimana ini, ia harus mengurus administrasi Alfi, sedang ia tidak memegang banyak uang.

Kurang lebih dua puluh menit untuk ia sampai di tujuan. Bertanya sana-sini untuk mendapatkan informasi lengkap soal Alfi. Uang arisannya berujung menjadi penolong dirinya untuk membayar kamar dan segala bentuk pengobatan Alfi.

Impian berliburnya kandas.

Ternyata mobil yang dikendarai Alfi memiliki masalah pada bagian kemudinya. Kini, Alfi yang dilihatnya tengah berbaring dengan beberapa perban di bagian kakinya. Melihat sosok yang sering membuat dirinya sebal seketika tak berdaya seperti ini, rasa kasihan itu ternyata tetap timbul.

Ia sungguh tidak tahu secepat apa Alfi mengendarai mobil untuk menjemput dirinya tadi.

"Besok-besok kamu jangan telat dong, jemputnya. Aku capek nunggunya tahu, panas lagi."

Harusnya ia memperingati untuk tetap berhati-hati juga pada Alfi.

Laju napasnya masih terasa kencang, ruangan ber-AC tak mampu menghilangkan bulir-bulir keringat di tubuhnya. Wajar saja, ruangan ini berisi enam bed dan hanya terdapat satu pendingin ruangan.

Dirinya, hanya sanggup mengambil kamar kelas tiga. Uang arisannya masih sisa, namun ia khawatir jika Alfi masih ada pengobatan setelah keluar rumah sakit nanti.

Ia memperhatikan wajah Alfi, masih terpejam. Hampir satu tahun menikah ia belum pernah memperhatikan pori-pori Alfi sedekat ini. Masih sama, wajahnya masih sama tampan seperti dulu kecil. Hanya rupa hidungnya yang terlihat lebih mancung.

Tangan yang sering menjahilinya bergerak sedikit, ia melirik ke sekitar. Seorang perawat yang sedang membereskan nakas pasien lain di kamarnya, menjadi sasaran dirinya untuk membantunya.

Sebentar lagi, Alfinya akan bangun, kan?

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang