Dua Puluh

2.2K 155 1
                                    

"Jadi itu benar, Yah?"

Seorang laki-laki tua yang pernah menjadi idola kaum hawa zaman dulu itu mengangguk.

"Bahkan sampai detik ini Alfi masih nggak tahu apa motif Ayah korupsi dana perusahaan tempat kita kerja dulu, lalu sekarang muncul masalah baru lagi. Lebih tepatnya, masalah itu memunculkan diri ke permukaan lagi."

Masih menundukkan kepalanya, Rasyid berkata, "Semua yang Ayah lakukan semata-mata untuk kamu dan Ibu."

Alfi menyugar rambutnya yang hampir tiga hari ini tidak ia bersihkan. "Semuanya untuk Ibu dan Al? Sampai Ayah rela tidur beralas tikar di usia tua, tapi Alfi masih begini-begini aja dan Ibu di detik terakhirnya tetap nggak balas cinta Ayah." Menghela napasnya sejenak, "Yah, sejatinya hidup bukan semata-mata untuk orang yang dicintai aja."

"Itu bagi kamu! Bagi ayah beda, Al!"

"Alfi rela nggak jadi juara kalau ternyata mungkin Ibu dan Ayah dulu berhutang sana sini demi bisa memasukkan Al ke kelas-kelas tambahan. Alfi juga rela dibully kalau ternyata mungkin mobil yang ayah pakai untuk antar Al ke sekolah itu hasil hutang. Seharusnya Al nggak perlu ada, supaya Ayah dan Ibu nggak berhutang sengsara."

Tatapan mata Rasyid mengecil, menyiratkan kekecewaan kala sang putra berkata demikian. "Nggak perlu dibayar. Yang kamu beritahu ke Ayah tadi nggak perlu dibayar, Nak." Suara lembut itu melantun sebagaimana yang selalu Alfi dengar dari dulu.

"Bagaimana kalau kawan ibu itu neror Al ke rumah?"

"Hadapi, lalu abaikan."

"Jelas-jelas Ayah pasti tahu kalau hutang harus dibayar sampai kapanpun."

"Ayah yang berhutang, maka Ayah yang akan bayar."

Alfi menatap dalam manik mata yang menyiratkan ketulusan padanya itu, "Kapan? Kawan ibu itu butuh uangnya segera, Yah."

"Pasti ayah bay—"

"Kita udah nggak punya apa-apa lagi untuk dijadikan bayaran."

"Kamu pulang aja. Abaikan isi surat itu!"

Alfi tersentak kala sang ayah sedikit membentaknya. "Kenapa ayah berani menghadirkan Al di tengah Ayah dan Ibu yang nggak saling mencintai? Melakukan proses bayi tabung yang harganya luar biasa mahal itu. Apa benar cuma Ayah yang menginginkan proses bayi tabung itu? Kalau begitu, kenapa Ayah menikahi Ibu?"

"Kata siapa? Kata siapa Ayah dan Ibu nggak saling mencintai? Kata siapa cuma Ayah yang mau kamu hadir di sini? Ayah dan Ibu menikah karena cinta! Kami rela berhutang untuk membahagiakan buah hasil cinta kami!"

Rasyid mencondongkan tubuhnya, "Ibu kamu cuma tertekan, karena malu reputasinya menurun begitu kamu lahir. Agensi dan penerbitan majalah sudah banyak yang enggan menerima ibu sebagai modelnya karena status Ibu yang sudah berubah menjadi seorang 'ibu'. Semuanya salah Ayah. Harusnya Ayah selalu mendampingi, saat masa-masa ibu mulai tertekan. Tapi mengingat biaya proses perawatan bayi tabung yang diluar perkiraan, Ayah harus bekerja lebih keras dan berhutang pada Amru selaku mantan manajer ibu yang sudah alih profesi menjadi pengusaha gym and sports. Nyatanya Ibu masih teguh pendirian ingin melanjutkan karir modellingnya, bahkan rela menjual barang-barang berharganya demi bisa membayar agensi untuk menggaet dirinya menjadi model kembali."

Menjeda sejenak, Rasyid mengusap wajahnya gusar. "Sampai Ayah membawa ibu ke psikolog untuk meminta penanganan karena Ibu sempat nggak mempedulikan kamu. Beberapa hari sembuh, tapi tiba-tiba Ibu jadi impulsif. Sering minta uang ke Ayah untuk beli barang-barang yang harganya terbilang mahal. Ayah maklumi, karena mungkin Ibu merindukan barang-barang yang sudah dijualnya. Nyatanya sifat impulsif Ibu nggak hilang juga, sampai Ayah harus kerja serabutan ke para pegawai di stasiun tv yang punya usaha untuk bantu-bantu di usaha milik mereka. Pekerjaan Ayah yang suka bantu-bantu akhirnya terbawa sampai tua, sampai stasiun tv dan beberapa brand nggak menerima Ayah jadi bintang iklan lagi."

Alfi tertawa kecil, "The love makes you miserable, Dad. Bahkan Ibu, sampai Al besar pun beliau nggak pernah menjadi seorang 'ibu'. Beliau membuat Al takut hadapi kehidupan, termasuk menghadapi fase menikah. Asumsi buruk tentang pernikahan selalu tersangkut di pikiran, Al. Fase pernikahan bagi Al seperti sebuah misteri terjawab yang didalamnya penuh kesedihan dan kesengsaraan.  Tapi karena Rania orangnya, ketakutan itu nyatanya bisa terkikis."

Rasyid menggenggam erat surat yang putranya bawa. "Pernikahan, akan buat kamu merasakannya. Makna cinta, mungkin akan berbeda-beda bagi setiap pasangan rumah tangga. The love makes you miserable yang tadi kamu katakan sepertinya nggak pernah Ayah rasakan. Yang Ayah rasakan sampai saat ini adalah The love makes me gleeful. Karena Ibu menyetujui keinginan Ayah untuk melakukan proses bayi tabung, yang membuat sampai detik ini Ayah nggak pernah merasa kesepian. Ayah bisa lihat sosok Ibu dalam diri kamu. Ayah bisa melepas kerinduan pada Ibu dengan melihat kamu. Ayah nggak pernah menyesal pernah menikahi Ibu dan menghadirkan kamu. Yang Ayah sesali cuma satu, Ayah gagal membimbing Ibu untuk menjadi seorang 'ibu' seperti yang kamu katakan."

*_____*

Alfi sudah sampai di rumah dari satu jam yang lalu. Perbincangannya dengan sang ayah sedikit menguras energinya karena begitu sepulangnya ia dari lapas, matanya memanas bak ditusuk tombak. Angin kencang yang menerpa tubuhnya nyaris membuatnya menggigil di balik kemudi motor. Titik-titik yang berhasil lolos ke permukaan kulit wajahnya, berhasil membuat kaca helmnya mengembun.

Lima panggilan yang ia lakukan tak dijawab oleh orang yang ia yakini dapat mengurangi sesak dadanya.

*_____*

"Kira-kira kapan stoknya ada lagi, Ran?"

"Belum tahu pasti San, soalnya dari perusahaan pemasoknya belum ada kasih info yang fix. Nanti pasti aku kabari kalau udah ada stoknya."

Ikhsan gusar ditempat. "Masalahnya aku butuh kemeja itu untuk tiga hari lagi. Aku udah searching juga di online shop, tapi rata-rata harus ikut pre-order dulu."

Rania ikut gelisah. Tapi gelisah yang ia rasakan bukan karena ikut merasakan masalah yang Ikhsan hadapi, ini sudah hampir jam sembilan malam. Ia sudah menutup tokonya dari satu jam yang lalu. Namun, Ikhsan masih bertanya-tanya saja soal kemeja yang diperlukannya. Ia ingin pulang!

"Kamu coba cari di toko lain aja, San. Aku beneran cuma bisa bantu sampai ini. Soalnya kalau dengan perusahaan pemasok, aku cuma bisa kasih info kalau stok baju di toko sudah habis ke mereka. Selebihnya itu urusan mereka dan aku nggak bisa begitu aja nuntut untuk minta info lain-lain."

"Masalahnya aku udah nggak waktu lagi Ran untuk cari-cari di toko lain. Aku sibuk kerja dan cuma toko kamu aja yang bisa aku jangkau saat ini. Kamu ada kenalan yang buka toko baju lagi, nggak?"

Rania pura-pura membuka handphonenya yang sudah mati dari tadi. "Nggak punya, San. Omong-omong aku izin duluan ya, suami aku telepon takutnya ada perlu."

Rania meringis karena sudah berbohong pada tetangganya yang baik itu.

"Oh, oke. Pulang bareng aku aja kalau gitu, Ran."

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang