Tiga Puluh Tiga

1.8K 138 7
                                    

Ia meminta pindah kamar pada petugas hotel. Beberapa dari petugas tersebut melarangnya untuk keluar dari hotel, karena khawatir terjadi tindak kejahatan di luar sana. Barang bawaannya yang sudah berantakan di bantu untuk dipindahkan ke kamar baru.

Maka, disinilah ia berada. Di sebuah kamar yang letaknya di lantai hotel paling tinggi. Melihat ke arah luar jendela ia seperti berada di langit. Mengapa akhir-akhir ini kejadian buruk menimpanya, ya? Di sana, Alfinya tidak seperti dirinya kan, yang mengalami tragedi-tragedi mengerikan.

Dari tadi ia memikirkan laki-laki itu. Ingin sekali rasanya berpelukan di tengah masalah yang menghantamnya kini. Tapi lagi-lagi pikirannya mengatakan bahwa dirinya sudah tidak pantas berpelukan atau berhubungan intens dengan laki-laki itu, karena tubuh kotornya sudah tidak layak bersentuhan dengan tubuh Alfi yang baik.

Bagaimana ia percaya, jika tubuh Alfi masih dalam keadaan baik?

Sebelum menikah ia seringkali memantau kegiatan sosial media laki-laki tersebut. Berawal dari penasaran, karena Alfi seringkali meninggalkan komentar di postingannya dan mengiriminya pesan di direct message. Ia jadi merasa ingin tahu, bagaimana bisa laki-laki itu membuang waktunya hanya sekedar untuk menebar pesona padanya.

Alfinya seringkali terlihat di beberapa club, saat masih bekerja di Paris. Setelah ia telusuri ternyata laki-laki itu hanya menghadiri undangan dari atasan kerjanya. Beberapa kali Alfi terlihat berfoto dengan perempuan-perempuan cantik namun laki-laki itu tidak pernah berpose aneh-aneh bersama perempuan tersebut. Lalu, saat bersamanya pun Alfi tidak pernah menyentuh secara sengaja bagian tubuhnya tanpa seizinnya.

Jadi, ia menyimpulkan sendiri bahwa tubuh Alfi ya, masih dalam keadaan baik.

Gusar, ia mengusap wajahnya. Setelah ini ia harus apa, jikapun lapor pada pihak yang berwenang ia rasa seperti akan menimbulkan masalah baru. Tapi hatinya masih tidak tenang meski seluruh petugas hotel menjaganya.

*____*

"Hati-hati, Nak. Berusaha sambil berdoa, ya. Rania mungkin lagi liburan, hilangin jenuh." Ucap Rasyid menenangkan putranya.

"Iya, semoga Rania memang lagi pergi liburan. Atau mungkin main ke rumah temannya." Alfi mensugesti pikirannya agar bersikap tenang.

Satu pelukan dilakukan oleh kedua laki-laki berbeda generasi tersebut. Lambaian tangan Rasyid seolah menjadi semangatnya untuk bertemu sang istri di sana.

Beberapa jam lagi ia akan bertemu Rania. Meski saat ini ia tidak tahu keberadaannya di mana. Keyakinan akan bertemu itu tetap ada.

Oh ya, ia lupa mengabari Rania soal ia yang meminjam uang perempuan tersebut untuk membayar tiket pesawat. Dikeluarkannya ponsel dari dalam saku, kemudian mengetik di room chat sekalian melapor pada Rania bahwa ia akan pergi menemuinya hari ini.

To: Raniaaa

Ran? Aku lagi di bandara.

Mau ketemu kamu, tunggu aku di sana ya, Ran."

*___*

Pintu lift terbuka, dalam sekali lihat ia kembali menutup kembali lift untuk membawanya ke lantai dasar lagi. Ada ramai-ramai di koridor kamarnya, sepertinya menyangkut akan perempuan tersebut. Jalannya sedikit dipercepat demi bisa mencapai tempat parkir.

"Apartemen rame, Mas." Ucapnya pada seseorang di balik telepon.

"Rame kenapa? Aku lagi di apartemen ini, dari tadi pagi nggak ada apa-apa tuh."

"Di koridor kamarku, Mas."

"Berarti udah ada yang tahu?"

"Kemungkinan besar sudah, Mas."

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang