Tujuh

2.6K 187 2
                                    

Dua minggu terlewati oleh Rania dengan tertatih-tatih. Ini akhir pekan dan ia masih berkutat di dapur menyelesaikan pesanan sang suami yang masih mendengkur bersama bantalnya.

Perasan jeruk limau yang digenggamnya membuat tangannya kian perih. Beberapa menit lalu saat ia mengiris bawang merah untuk digoreng, jari telunjuknya tergores pisau. Air perasan jeruk limau itu mengenai area lukanya. Rintihannya terdengar cukup keras. Dinyalakannya air kran dalam sink untuk mencuci darah yang kembali mengalir karena ia menekan telunjuknya terlalu kuat.

Lihatlah! Betapa ia berusaha sekali menunaikan keinginan Alfi untuk membuat soto lamongan.

Semangkuk soto sudah ia sajikan di meja makan. Maka kini, ia memindahkan tubuhnya ke kamar tempat laki-laki itu tidur.

Ditepuknya ringan bahu Alfi, "Al! Bangun! Aku udah selesai masak."

Wajah rupawan yang biasa ia lihat itu berubah menjadi buruk rupa karena air liur yang membasahi di bagian pipinya. Ewh!

Ia berbalik badan, hendak memberesi ranjang tidur miliknya. Tepukan sapu lidi pada kasurnya sengaja ia kencangkan agar menghentikan dengkuran laki-laki itu. "Alfi! Bangun!" Ia semakin kencang memukul kasur dengan sapu lidi yang digenggamnya kuat-kuat.

"Alfi! Bangun, nggak?! Aku udah selesai masak soto lamongan pesanan kamu!"

Emosinya memuncak saat menyadari laki-laki itu masih mendengkur. Diguncangkannya dengan hebat tubuh besar berbalut kaos oblong. Perlahan Alfi mengerutkan dahinya.

"Ck! Kasar banget sih kamu, sama suami!" Ucap Alfi dengan menepis lengan Rania yang mencengkram tubuhnya.

Rania terduduk di ranjangnya sendiri. Melihat Alfi yang grasak-grusuk seperti mencari sesuatu.

"Cari apa?" Tanyanya pada Alfi.

"Handphone aku."

Rania dengan cekatan menunjuk nakas tempat biasa ponsel keduanya diisi daya. "Tadi aku nggak sengaja lihat baterai handphone kamu low."

Alfi terdiam setelahnya. Sepertinya masih mengumpulkan sisa-sisa kesadaran dari tidurnya. Ia sedikit mendengar bahwa Rania tadi mengatakan sudah menyelesaikan pesanan makanan yang diinginkannya. Semalam ia meminta pada Rania untuk dibuatkan soto lamongan, namun Rania menolak dengan alasan harus menghemat untuk tidak memakan makanan yang berbahan mahal, karena uang bulanan harus cukup hingga akhir bulan nanti.

Tapi, Alfi segera mengeluarkan sisa-sisa uang dalam dompetnya untuk membeli bahan soto lamongan dan langsung memberikannya pada Rania.

"Ih! Malah bengong!" Rania lewat didepannya dengan menjentikkan jari.

Ia segera menyusul perempuan itu keluar kamar. Rania berdiri membelakanginya, sembari berjalan perempuan itu mengikat rambut panjangnya. Cara perempuan itu berjalan masih sama dengan yang ia perhatikan dua puluh empat tahun yang lalu. Sebelas dua belas dengan model-model yang tampil di acara fashion week Paris yang sering ia lihat dulu.

"Cuci muka dulu sana, aku siapkan nasinya, nih." Rania berbalik badan memandangnya.

Langsung ia pergi menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, ia menghela napas kasar karena menemukan sabun cuci wajahnya habis tak bersisa. Jika membeli pun ia sudah tidak punya uang yang tersisa lagi. Diambilnya sabun yang masih ada setengah untuk ia tuangkan pada telapak tangan, harum manis mawar menguar begitu ia menyabuni area wajahnya. Rania dengan bunga memang sulit untuk dipisahkan.

Selesai membilas sabun pada wajahnya, ia sempatkan untuk bercermin di kaca yang menggantung. Sebuah kaca berukuran kurang lebih dua puluh lima centimeter itu merupakan salah satu barang yang Rania minta belikan padanya. Dulu, banyak yang mengatakan kalau wajah miliknya tampan rupawan.

Ia memang sudah menyadari itu dari kecil. Ketampanan ini jelas menurun dari gen kedua orangtuanya. Sang ayah pernah menjadi seorang bintang iklan sekitar empat puluh tahun lalu hingga bisa menggaet salah seorang perempuan tercantik di Indonesia pada masa itu. Atikah Nurma, harum nama itu selalu mengisi headline permajalahan di negeri ini. Ia masih menyimpan satu dari ratusan majalah yang ayahnya bakar beberapa tahun silam.

Setetes air mata yang ia tahan mengalir membasahi wajah yang baru saja ia cuci dengan sabun mawar.

Sial!

Lagi-lagi ia terbesit ingatan itu.

Kaki kecil itu melangkah tergesa-gesa. Matanya terus melirik pada jam tangan biru kebesaran yang melingkar di pergelangan tangannya.

Pukul 15.25

Ia harus sampai di rumah pukul 15.30, jadwal harian berikutnya telah menanti. Jangan sampai ibu mengomelinya lagi.

Dibukanya sepatu dan kaos kaki, melangkah perlahan menuju lantai dua tempat kamarnya berada.

"Alfiansyah!" Gelegar suara itu menggetarkan seisi rumah.

"Buta ya kamu?! Nggak bisa baca jam?" Lanjut perempuan itu tanpa berani ia melirik sedikit pun dari arah tempatnya berdiri.

"Nggak usah mandi! Langsung berangkat, keburu ketinggalan materi les kamu!"

Ia kembali keluar, berjongkok memakai sepatu kembali. Namun benturan keras mengenai kepalanya.

"Nggak ada beda ya, anak sama ayah! Disuruh pulang tepat waktu, nggak pernah bisa! Sama-sama bego kalian itu!"

Sebuah remote televisi lagi-lagi membuat kepalanya pening. Benda itu pastilah dilempar dari jarak yang jauh. Sudahlah kepalanya pening mendengar omelan yang tak henti-henti.

Suara langkah kaki terdengarnya mendekat, ia buru-buru berdiri, namun tasnya ditarik oleh perempuan itu lagi dan membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.

"Maaf, Bu." Akhirnya ia berani bersuara setelah tenggorokannya tercekat karena rasa takut yang berlebih.

"Ibu nggak butuh maaf! Yang Ibu butuhkan anak yang pintar dan cerdas. Ingat! Kamu jangan sampai jadi laki-laki bodoh dan tolol kayak ayahmu!"

"Cepat berangkat!" Tubuhnya terpental sedikit ke depan karena ditendang oleh sang ibu.

Kembali, kaki kecilnya diajak berjalan cepat menuju tempat les matematika dan bahasa inggris yang menurutnya amat membosankan. Angin sepoi yang lewat sedikit meredakan nyeri pada hatinya atas perkataan yang baru saja didengarnya.

Dibasuhnya kembali wajah yang sempat terlewati tetesan air mata. Nyatanya, ia memang bodoh, hingga kini, karena berani mengemban tanggung jawab berat sebagai seorang suami dari perempuan terpandang.

*____*

"Lama banget, sih!" Sinis Rania sekeluarnya Alfi dari kamar mandi. "Keburu dingin, nih, sotonya."

Alfi menarik kursi untuk mendudukkan dirinya.

"Tahu nggak? Tanganku sampai luka-luka lho, masak pesanan kamu yang super ribet ini." Ucapnya mendramatisir.

Alfi melihat jelas telunjuk Rania yang diperlihatkan padanya. "Kan, ada plester di atas kulkas."

"Bukannya udah habis?"

Alfi kembali berdiri, berniat mengambil plester. "Masih ada sisa, nih."

Rania diam ketika Alfi memasangkan plester pada jadi telunjuknya. Perempuan itu sedikit menghidu aroma sabun yang sering dipakainya pada laki-laki yang sedang fokus dihadapannya kini.

Rania semakin mendekatkan diri ke tubuh Alfi.

"Apa? Kamu mau cium aku?" Alfi memundurkan tubuhnya.

"Ih! Aku nggak mau cium-cium orang yang belum mandi."

Plester sudah terpasang. Namun Rania belum sempat menjauhkan diri dari laki-laki itu, sampai ia merasakan sebuah bibir hinggap di pipinya.

"Ih! Alfi tadi kamu ileran, jorok, belum mandi, bau!" Ia memukul tubuh besar Alfi dengan membabi buta.

"Tapi enak, kan?" Laki-laki itu justru mengerlingkan matanya.

"Mau lagi nggak, kalau aku udah mandi?" Goda Alfi pada Rania yang berdiri berseberangan dengan berkacak pinggang.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang