Tiga Puluh Delapan

2.2K 167 12
                                    

"Kamu duluan masuk ke apart, ya. Aku balikin mobilnya istri Arya dulu. Kopernya taruh di dekat lift aja, nanti biar aku yang bawa."

Rania mengangkat satu jempolnya. Lalu melambaikan tangan pada mobil yang sedang putar arah. "Bye!"

Alfi meladeni kelakuannya. Mengeluarkan lambaian tangan ke luar jendela mobil.

Perlahan, ia melangkahkan kakinya setapak demi setapak menuju lift apartemen. Beberapa petugas apartemen menyapanya dengan hangat. Sampailah dirinya di lantai koridor yang biasa ia lewati. Melirik takut-takut pada kamar Ikhsan. Jalannya dipercepat ketika melewati kamar itu. Ia masih bergidik ngeri.

Pintu kamarnya tertutup. Bel dibunyikan, tampak bunda yang membuka pintu dengan wajah sembab. Memeluknya hangat dengan air mata yang membanjiri pundaknya. Dibelainya punggung serta kepalanya. Sambutan ini terasa menyesakkan.

"Alfinya mana, Ni?" Tanya Bunda seraya menuntunnya masuk ke dalam.

"Balikin mobil istrinya Mas Arya, Bun. Dia pinjam mobil waktu cari Nia kemarin."

Melangkah masuk ke dalam, ia melihat Hadi sedang terduduk diam di atas sofa. Tangannya sibuk mengusap wajah yang berlinang air mata. Gegas, ia memeluk laki-laki itu.

Meski kebencian pernah tumbuh di hatinya pada sang ayah, namun melihat kali ini ayah berlaku berbuat keadilan dengan membiarkan kakak sulungnya di proses hukum. Itu cukup sedikit menghapus rasa benci yang sempat tumbuh itu.

Gumaman maaf terdengar di telinga kanannya. Erat pelukan ia rasakan. Sampai bunda menarik keduanya untuk menyudahi momen penuh kelembutan tersebut.

"Diminum dulu, Ni. Bunda buatin teh hangat."

Ayah memperhatikannya meminum teh yang bunda beri. Sadar akan posisinya yang masih bertekuk lutut di lantai, sang ayah menariknya untuk duduk di sofa. Lengannya yang tidak digunakan memegang gelas, disentuh dan diraba oleh ayah seperti sedang mencari sesuatu.

"Nggak ada luka-luka, Ni?" Tanya Ayah.

"Ada sedikit dan udah sembuh." Jawabnya jujur.

"Benar udah sembuh? Ayah antar ke dokter sekarang kalau masih ada luka." Tangan ayah beralih pada saku celananya untuk mengeluarkan kunci mobil.

"Benar udah sembuh Ayah, lukanya memang cuma sedikit, kok." Ia memberi tahu dengan jarinya soal kata sedikit yang ia maksud.

Bunda yang kini sudah berpindah tempat ke dapur, bersuara. "Ni? Mau tunggu Alfi di kamar aja? Bunda udah bersihkan kamarmu, lho."

Diliriknya ayah yang masih menggenggam tangannya. "Nggak Bun, Nia mau nunggu Alfi sama Ayah aja di sini."

Ayah mengajaknya berbincang soal di mana ia setelah kejadian itu berlangsung. Dan, bagaimana ia yang melarikan diri ke hotel hingga Alfi menemukannya. Semuanya ia ceritakan tanpa jeda. Kepalanya yang semula bersandar pada sofa, sudah berpindah sandaran pada bahu sang ayah. Terasa belaian lembut di atas kepalanya. Tangan yang menggenggam jari-jarinya tadi berpindah haluan membelai kepalanya.

Hingga harum aroma masakan menghampiri indra penciuman keduanya. Ia menolehkan kepala ke arah dapur. "Bunda lagi masak apa? Harum banget lho, Bun."

"Enggak masak. Bunda cuma angetin makanan yang dibeli tadi malam. Bunda pesan di resto seafood dekat sini, lewat aplikasi pesan antar."

Jawaban Bunda membuatnya berselera makan. Kira-kira Bunda membeli menu seafood andalannya tidak, ya?

"Seafood? Ada menu kepitingnya nggak, Bun?" Ia coba bertanya.

Bundanya masih asyik memilih piring dalam rak. Beberapa detik kemudian baru menjawab. "Nggak ada Ni, Bunda cuma pesan ikan, udang sama cuminya doang."

Ia menghela napas sejenak. "Oke Bun."

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang