4

104 11 0
                                    

Entah banyak masalah, banyak pikiran atau banyak tugas dihari libur begini, Jidan membuat ibunya keheranan karena bangun di pagi hari. Biasanya bangun siang, bangun-bangun langsung main keluar sama temen-temennya

"Mau sarapan gak?", Jidan menggeleng, ia menghampiri ibunya yang sedang menonton tv, Jidan duduk disamping ibunya lalu merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di paha ibunya sendiri. Dengan sendirinya ia terbuai karena elusan lembut di kepala yang dihasilkan ibunya

"Bu, dulu waktu hamil Jidan, gimana sih?", ibunya terkejut mendengar pertanyaan Jidan, gak biasanya anak itu nanya-nanya soal itu

Ibunda nya terdiam, ia terlihat berfikir. "Dulu ibu pas tau hamil kamu tuh senenggg banget, ayah kamu aja sampe ngumumin di markasnya kalo ibu hamil, temen-temen kesatuannya sampe diboyong ke rumah buat makan-makan dirumah"

"Tapi disaat yang bersamaan, ibu sedih banget gaada ayah kamu yang selalu bareng sama ibu, tiap ibu butuh ini itu pasti ibu lakuin sendiri. Ibu sadar diri ibu cuma nomer 2, negara nomer 1. Kadang ibu juga suka cemburu liat ayah kamu yang ga pulang-pulang sementara rekan satu tim nya udah pulang. Secinta itu dia sama tugasnya",

"Terus dulu waktu ibu ngidam gimana? Minta yang aneh-aneh gak kayak mau terjun dari helikopter atau mau ngendarain buaya muara?",

Sang ibu menatap tajam ke arah Jidan lalu mendengus melihat anaknya yang malah tertawa, "Dulu pas ibu ngidam sih ga minta yang macem-macem, cuma pengen jajan, sama cuma mau di deket ayah kamu doang", Jidan mengangguk

"Terus bu kalo ternyata ada orang hamil yang ga ngidam itu wajar?"

"Wajar-wajar aja, soalnya kalo lagi hamil tuh ga cuma istrinya aja yang ngidam, tapi suaminya juga bisa ngidam... Kenapa sih nanya-nanya gitu, random banget"

"Gatau, Jidan abis nonton film aja semalem", Jidan berdiam diri sebentar sambil terus merasakan elusan di kepalanya, setelah beberapa saat ia bangun lalu kembali menuju kamarnya

"Mau tidur lagi?"

"Bukan, Jidan mau ngajakin Luna jalan",












🐶

"Lucu banget Ji, pengen deh gelangnya",

"Ji, ini jepitannya unik ga sih ih jadi pengen beli"

"Ji, sini deh iih jaket nya nyaman banget jadi suka",

Luna menganga dibelakang Jidan yang sedang membayar belanjaannya, tiap ia melirik suatu barang tanpa pikir panjang Jidan pasti langsung membelikannya. "Banyak banget Jidan"

"Kan lu lagi ngidam, harus diturutin lah",

"Tapi gue ga kepengen banget"

"Gapapa kepengen artinya sama dengan ngidam, nanti kalo ga diturutin anak gue ileran kayak lo",

Dibawa terbang ke langit lalu dihempas dengan kuat itu rasanya kayak naik rollercoaster, setidaknya itu yang bisa Luna gambarkan, atau seperti terkena serangan jantung yang dibuat berdetak kencang lalu detakan itu berhenti tiba-tiba

"Kalo gitu, gue pengen... Kepengen banget lo jujur sama orangtua lo soal kehamilan gue, bisa?", Luna menatap mana Jidan tepat dalam-dalam, melihat mata Jidan yang tidak bisa berbohong seperti mulutnya yang biasa berbohong soal hatinya

Jidan membuang wajahnya ke segala arah, "Laper ah, laper gak? Makan yuk, kepengen..."

"... Gue nanya Jidan, lo bisa gak jujur kayak gue?", Jidan kembali menatap mata Luna, sepersekian detik ia menggeleng lemah

"Blom saatnya mereka tau",

"Nunggu kapan lagi?"

"Orangtua gue mungkin ga kayak orangtua lo Lun, orangtua gue gabakal ngelepas orang yang udah gue hamilin begitu aja, gue belom siap buat nikah dan sebagainya",

"Lo kira orangtua gue ngelepas orang yang udah bikin gue hamil begitu aja? Dia juga nanyain siapa yang udah bikin gue hamil, gue tutupin nama lo dan bilang kalo orangnya bakal dateng kerumah buat tanggung jawab, lo tau jawabnya ayah gue apa?"

"Ayah gue sampe bilang 'Sampe mati pun papa gabakal tenang kalo orangnya gabakal tanggung jawab kerumah', sebegitu nya walaupun sekarang mereka terkesan dingin sama gue", sambung Luna agak menggebu-gebu hingga beberapa pasang mata yang melewati mereka ikut menoleh ke arah Luna

Luna terdiam, dirinya tiba-tiba terisak. "Ternyata lo emang gaada niatan buat tanggung jawab ya Ji", ucapnya sambil mengelap air matanya yang terus jatuh

"Jangan nangis disini, lo bikin gue keliatan kayak orang jahat Lun",

"Terus kalo bukan orang jahat apa? Laki-laki brengsek? Pengecut?Mokondo? Apa sebutan yang pantes buat lo Ji", Jidan mendecak, dengan ragu ia memeluk Luna menenggelamkan kepalanya di dada Jidan sambil berjalan menjauhi tempat itu menuju basemen mobil

Jidan melepaskan pelukannya, memperhatikan Luna yang masih terisak tangis walaupun dengan suara kecil, ketika di basemen akan cukup terdengar

Jidan mensejajarkan wajahnya di depan wajah Luna, matanya terus memperhatikan Luna. "Kenapa liat-liat?!",

Jidan mengecup bibir Luna lalu menggigitnya bibirnya pelan, Luna terdiam, ia bahkan tidak terisak lagi ketika Jidan menciumnya, "Jangan nangis lagi", ucapnya pelan setelah mencium bibir Luna tanpa aba-aba

"Emang kalo gue nangis lagi lo mau apa?"

"Gue cium lagi sampe berhenti",

Akal licik muncul dikepala Luna, dengan cepat ia kembali menangis dengan keras seperti anak kecil yang mainannya dirampas temannya sendiri

Dengan cepat pula Jidan memojokkannya ke pinggir mobil lalu menciuminya dengan rakus, mengajaknya bermain lidah disana hingga beberapa menit lamanya, sampai Luna hampir kehabisan nafasnya karena keganasan Jidan

"Udah berhenti nangis nya?"

"Udah ah capek, gue laper", Jidan terkekeh pelan hingga tidak terdengar oleh Luna yang menjauhkan tubuhnya dari Jidan

"Mau kemana?"

"Kan gue bilang laper, ayo balik lagi ke mall nya", Jidan mengikuti langkah kaki Luna memasuki mall kembali

"Mau makan apa?",

"Pokoknya kepengen makan makanan yang mahal"

Jidan mendecak, baru saja dirinya ingin berkomentar tetapi Luna langsung memotongnya

"Turutin! Mau anaknya ileran kayak gue?"

"Yaudah anak lo ini, bukan anak gue",












🐶

Duty (Park Jihoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang