BAB 20

43 4 2
                                        

"Jawaban gue nggak akan pernah berubah, Zio. Gue nggak bisa ninggalin dia."

"Kenapa?" Zio memberi ekspresi frutrasi, seolah jawabanku adalah masalah yang paling sulit dipecahkan.

Cowok itu menarik tangan kanannya dari saku hodie, kemudian bergerak mengudara, menunjuk arah jejak kepergian Nero. "Karena orangtuanya nggak peduli sama dia?"

"Lo merasa kasihan sama dia karena masalah keluarganya?" lanjutnya.

Tangannya kembali masuk ke dalam saku hodie, dan kini giliran tubuhnya yang bergerak resah, seolah tidak ada lagi kesabaran dalam dirinya. "Dia udah cukup dapat cinta dari orang-orang terdekatnya, Kee. Dia nggak kekurangan kasih sayang, tapi dia egois dan rakus!"

Aku yang masih duduk di ayunan taman menunjuk ayunan kosong di sebelahku. "Duduk dulu, kita bicarain baik-baik."

Zio menurut, dia duduk di ayunan satunya dengan posisi serong ke arahku. Tubuhnya yang tinggi dan besar tertimpa gelapnya malam.

Lalu, berdasarkan apa yang pernah kuimpikan, aku mencoba memberi kesimpulan yang kemudian aku utarakan kepada Zio.

"Lo tahu? Rasa suka gue ke Nero bukan karena itu. Gue udah suka sama Nero sejak sebelum gue tahu masalah keluarganya. Jadi rasa suka gue murni karena tulus, bukan kasihan."

Wajah Zio kian mengeras mendengarnya. Dia bahkan merubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan dan wajahnya berpaling. Aku lebih suka Zio yang ekspresif, bukan Zio yang dingin dan banyak memendam kekesalan seperti yang ada di sampingku saat ini.

"Terus, ketulusan lo itu dia balas dengan apa?" Dia menoleh. "Dia menyia-nyiakan ketulusan lo."

"Nero kan—"

"Udah nerima lo?" Zio menyela. "Gue nggak habis pikir sama lo kenapa masih mau nerima Nero padahal selama ini dia udah bersikap buruk sama lo. Tingkah dia sama Limar udah bikin lo sakit hati berkali-kali."

Aku menatapnya dengan nanar. Situasi di antara Keesra, Nero, Limar dan Zio terlalu asing untukku. Aku frutrasi karena tidak bisa mengambil kesimpulan dari masalah mereka sebelumnya.

Aku tidak tahu seberapa sakit hatinya Keesra terhadap sikap Nero selama ini. Aku hanya dapat bagian ketika Nero putus asa dan mengungkapkan rasa kesepian serta kekhawatirannya, yang membuatku lekas memaklumi sikap Nero terhadap Keesra selama aku menghuni raganya.

Mengetahui aku tak kunjung menanggapi, Zio kembali bersuara. "Lo masih nerima dia bahkan setelah lo bilang bakal bikin mereka nyesel karena udah nyakitin lo."

Setelah mengatakan itu, Zio menunduk. Menatap dua pasang sepatunya. Sementara aku semakin frutrasi sebab tak banyak yang aku ketahui tentang interaksi mereka selama ini. Apa yang pernah dan tidak pernah mereka katakan, dan apa yang mereka ketahui dan tidak mereka ketahui membuatku ingin berteriak.

"Yang nggak lo tahu kenapa Nero bersikap buruk sama gue, karena—"

"Karena setiap orang yang dia sayangi pergi, terutama keluarganya. Jadi, kalau dia membiarkan dirinya peduli sama lo, dia pikir lo juga akan pergi pada akhirnya." Zio menyela, membuatku terkejut karena dia lebih mengetahuinya.

"Kee, gue tahu banyak soal dia. Kami kenal udah lama, kami temenan udah lama."

"Terus kenapa lo benci banget sama dia?" Aku tak dapat mengendalikan kekesalanku lagi. Kini wajah frutrasiku kuciptakan terang-terangan di hadapannya.

"Karena dia ngambil semua yang ada di kehidupan gue," jawab Zio, dengan ekspresi terluka.

"Terus, itu jadi hak lo buat nyuruh gue putus sama dia?" tanyaku.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang