BAB 18

17 2 0
                                    

Saat aku masih sibuk membenahi barang-barangku setelah bel istirahat berbunyi, Nero sudah berdiri di sampingku persis, menungguku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat aku masih sibuk membenahi barang-barangku setelah bel istirahat berbunyi, Nero sudah berdiri di sampingku persis, menungguku.

Omong-omong, sekarang aku duduk sendirian. Moe menggusurkan diri ke bangku depan. Dia terus menghindariku, menjaga jarak terlalu jauh denganku karena khawatir akan diintrogasi. Sebab dia tahu benar bahwa pengakuannya palsu. Sementara aku yang pasrah membiarkannya saja. Sekarang dia sudah melesat pergi ke kantin bersama Jimzi dan Cheera, ah Limar juga.

Begitu aku selesai mengemasi barang, aku bangkit berdiri. Namun, keberadaan Nero sempat membuatku goyah karena sempitnya tempat berdiriku yang terhimpit oleh badan besarnya.

"Bisa mimggir dikit?" tanyaku. Aku tak memedulikan keberadaannya di sana itu untuk apa.

Karena, 1. Aku jengkel padanya karena tidak berusaha membelaku. 2. Aku mengira dia akan mengintrogasiku seputar tuduhan palsuku kepada Limar yang dimanipulasi oleh Jimzi. 3. Dia hendak mengungkapkan kekecewaannya terhadapku/Keesra. 4. Lainnya.

"Lo marah sama gue?" tanya Nero, dahinya yang mengerut seolah aku telah memberinya ketidakadilan.

Aku mendesah panjang, lalu duduk kembali karena Nero tak beranjak seinci pun dari posisinya, membuatku terhimpit sesak oleh tubuhnya dan meja-kursiku. Sementara Nero membungkuk, kedua tangannya menekuk, bertumpu di atas meja. Dia menatapku yang lebih memilih fokus menatap papan tulis.

"Kee?"

"Harusnya gue yang nanya itu ke elo!" Akhirnya aku menjawab.

"Gue nggak marah sama lo," jawabnya.

Cukup membuatku terkejut, mengingat betapa berdedikasinya Nero terhadap hidup Limar yang sempat cowok itu beberkan kepadaku beberapa hari yang lalu. Aku pikir, sekarang pun masih demikian, sehingga ketika dua saksi memberi pengakuan palsu yang mengatakan aku mengfitnah Limar, Nero pasti akan kecewa dan marah besar.

Sekarang aku membalas tatapannya. Matanya tenang, tapi penuh kekhawatiran. Dahinya mengerut dengan gelombang yang anehnya terlihat sedih.

"Terus, kenapa sejak kemarin lo diem aja?" tanyaku.

Sejak tuduhan itu, aku sama sekali belum berinteraksi dengan Nero, hingga sekarang.

"Gue bingung. Lo melarikan diri, bikin gue mikir lo butuh ruang buat sendirian. Terus bolos, bikin gue nggak punya kesempatan buat ngomong. Terus, walau gue udah nerima lo jadi pacar gue, hubungan kita masih termasuk baru buat gue, bikin gue canggung dan nggak tahu harus ngapain."

"Kenapa lo nggak ada usaha?"

"Sori. Gue juga bingung sama situasi ini. Di sisi lain Limar sahabat gue, dan lo pacar gue."

"Terus, sekarang apa yang udah lo putuskan buat masalah antara pacar lo dan sahabat lo?"

Jawabannya penting untuk Keesra, tapi aku tetap ingin mengetahuinya walau mungkin apa yang Nero katakan akan mengarah ke sebuah jawaban yang tidak siap untuk kudengar. Seperti, dia memilih untuk memihak Limar, misal.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang