BAB 19

15 2 0
                                    

Selama hidup sebagai Keesra, aku belum pernah melihat Ibu dan Ayah lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama hidup sebagai Keesra, aku belum pernah melihat Ibu dan Ayah lagi. Aku juga jarang mengorek informasi seputar kehidupan mereka pasca aku kecelakaan melalui Moe. Aku terlalu kacau memikirkan banyak hal sehingga semua yang kubutuhkan terlewatkan begitu saja.

Sekarang, aku ingin tahu kehidupan macam apa yang mereka alami setelah aku koma. Mengetahui mereka berperang dengan pengacara—dan Papa Zema terdengar seperti pengacara yang hebat, aku jadi sedih memikirkan keadaan mereka.

Namun, tetap saja ketika aku memutuskan untuk mengunjungi rumahku, aku hanya berani memandangi rumahku sambil duduk di dalam mobil. Sore-sore pula.

Sampai akhirnya, lagi-lagi, kedatangan Moe mengejutkan kami berdua. Kali ini dia terlihat baru saja dari suatu tempat, mungkin warung melihat lipatan kardus yang dia bawa.

"Keesra?" Moe memastikan, menjulurkan kepalanya ke arah jendela mobil yang kubuka.

Terpergok olehnya membuatku meringis kikuk. "H-hai."

"Lo, ngapain di sini?" Dengan pertanyaan menyelidik, ekspresi Moe seakan tak menyangka aku ada di depan rumahnya.

"Oh, anu. Gue cuman mau liat keadaan lo." Aku beralasan. Tanganku bergerak memegang stir mobil dan meremasnya guna melampiaskan kegugupan.

Sepertinya, mengkhawatirkan keadaan Moe sebegininya akan terlihat sedikit aneh bagi Moe, terlebih mengetahui aku sampai datang ke rumahnya segala. Terbukti dari wajah herannya yang tak kunjung luruh.

Moe mengangguk-angguk ragu, lalu mengulum bibir dan berkata, "Oh. Gue baik-baik aja, kok. Berkat lo. Makasih, ya."

"Tapi hari ini gue belum dapat informasi apa-apa," lanjutnya.

Kini giliran aku yang mengangguk. Karena tak ada lagi yang bisa aku katakan, situasi di antara kami menjadi canggung. Aku memalingkan wajah, menatap kaca mobil bagian depan sambil termenung untuk memikirkan apa yang bisa aku katakan padanya lagi.

Sepertinya Moe juga merasakan hal yang sama, tapi dia akhirnya berujar, "Mau mampir?"

Sejenak aku tak menjawab, hanya menatapnya sambil mempertimbangkannya. Walau itulah yang aku inginkan, tapi ada sedikit perasaan rikuh untuk menerimanya. Namun, karena tahu kesempatan ini akan sulit didapatkan, aku pun mengangguk.

Akhirnya, Moe menggiringku masuk ke dalam rumah. Rumah yang masih sama sejak kali terakhir aku melihatnya. Benar-benar tidak ada yang berubah dan masih membuatku nyaman. Namun, ada beberapa kotak kardus berjejeran di sisi tembok ruang tamu.

Aku pulang.

"Duduk, Kee. Gue buatain minum dulu, ya."

Aku menjawab kelewat cepat di antara berdiri dan duduk, "Eh nggak perlu kok, Moe."

Tangan Moe mengibas, mengabaikan penolakanku. Dia pun meletakkan lipatan kardus yang dibawanya di samping lemari rak yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang