BAB 25

17 4 0
                                    

"Kalau dia nggak akan pernah bisa jadi milik gue, buat apa ditangisin."

Jawaban Zio membuatku terpengarah, sekaligus bingung mau menjawab apa. Namun, akhirnya aku hanya bertanya, "Maksudnya?" Sambil melangkah maju mendekati Zio. Kini hanya meja dan kursi Dokter Tiwi yang menjaga jarak kami.

Tanpa menoleh, Zio menjawab. "Gue nggak akan pernah siap dia jadi milik orang lain. Kalau nggak bisa jadi milik gue, emang lebih baik dia pergi."

Apa yang Zio katakan membuat napasku memburu. Aku heran sekaligus kesal mengetahui Zio benar-benar sekejam itu.

"Karena itu lo nggak pikir panjang buat bantu dia bunuh diri?"

Kali ini Zio menoleh, membalikkan tubuhnya agar mengarah padaku sepenuhnya. Tidak ada reaksi terkejut sama sekali di wajahnya begitu mendengar pertanyaanku. Dia berdiam diri, tanpa pergerakan sama sekali sambil menatapku begitu intens.

"Ya."

Aku tak menyangka dia akan mengakuinya begitu saja. Wajahku berpaling sebagai reaksi terkejut-tak-tahu-harus-mengatakan-apa. Dalam beberapa saat, mulutku tak dapat bersuara dan tenggorokanku tercekat.

"Lo ngebunuh dia," kataku, pada akhirnya.

"Dia yang minta bantuan gue. Gue bisa apa buat nolak kalau dia ketakutan mungkin bokapnya yang bakal ngebunuh dia?"

"Tapi lo bisa bantu dia dengan cara lain. Lo bisa bantu dia bertahan hidup. Kenapa lo sedangkal itu buat nerima permintaan Keesra?"

Kini wajah Zio mengeras dan tegang. "Bukannya udah gue jawab?"

"Karena dia nggak akan pernah jadi milik lo, jadi lo berpikir dia lebih baik mati? Hanya karena perasaan pribadi lo? Apa itu bisa dibilang cinta?" tanyaku, tak habis pikir dengannya. "Zio, lo gila."

Mungkin itu menjadi salah satu alasan Zio menerima permintaan Keesra selain ketakutan Keesra terhadap amukan ayahnya dan pandangan orang-orang yang akan menguji mentalnya. Namun, tetap saja alasan Zio yang satu itu paling tidak masuk akal dan membuatku meradang.

"Ya! Gue emang gila!"

Aku dapat memahami pemikiran Zio yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk cinta yang tidak sehat atau obsesif. Zio mencintai Keesra, tetapi dia sadar bahwa cintanya tidak akan pernah dibalas oleh Keesra. Dalam kondisi ini, Zio mengalami perasaan yang sangat kontradiktif dan kompleks. Di satu sisi, dia sangat mencintai Keesra, tetapi di sisi lain, dia tidak siap untuk melihat Keesra mencintai orang lain.

Ketika Keesra meninggal, Zio merasa bahwa ini adalah situasi yang lebih baik dibandingkan dengan melihat Keesra hidup dan tidak mencintainya, atau bahkan lebih buruk—melihat Keesra menjadi milik orang lain. Pemikiran ini mencerminkan rasa kehilangan yang mendalam dan perasaan tidak mampu mengatasi rasa cemburu atau ketidakmampuan untuk memiliki Keesra.

Zio mungkin merasa bahwa jika dia tidak bisa memiliki Keesra, maka tidak ada siapa pun yang bisa memilikinya juga, termasuk dirinya sendiri. Ini adalah contoh dari pemikiran yang bisa mengarah pada perilaku toksik atau merusak dalam hubungan interpersonal. Ini menjelaskan mengapa Zio mau membantu Keesra bunuh diri.

"Kenapa lo nuduh Nero?" 

"Karena dia pantas dapet itu. Dia udah nyakitin Keesra, jadi gue mau bikin dia menderita, terpuruk dan susah buat hidup tenang. Dia juga udah ngambil semua aspek kehidupan gue, jadi gue nggak akan pernah ngebiarin dia hidup bahagia!" Zio menjawab dengan amarah yang tertahan, sampai urat-urat di kepalanya menonjol.

"Maksudnya apa?" Saking pasrahnya karena tidak tahu keadaan Zio yang sesungguhnya, aku bertanya dengan putus asa, berharap Zio mau membagi ceritanya.

"Dia dapat perhatian dari orangtua gue melebihi perhatian mereka ke gue," jawab Zio. "Kalau lo hidup bahagia sama orangtua, lo nggak akan ngerti!"

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang