BAB 11

22 1 0
                                    

Walau ada banyak masalah di sekolah, tapi menurutku itu lebih baik dari pada terjebak dalam suasana tak nyaman yang disebabkan oleh aura Ayah Keesra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Walau ada banyak masalah di sekolah, tapi menurutku itu lebih baik dari pada terjebak dalam suasana tak nyaman yang disebabkan oleh aura Ayah Keesra. Hampir setiap malam aku dirundung kegelisahan, padahal hanya makan malam saja. Namun, keberadaan orangtua Keesra masih saja membuatku tidak nyaman, meski misi ini sudah berlangsung beberapa lama.

Bahkan saat aku hendak menambah kuah sup, Mama Keesra langsung memperingatinya. Saat aku melirik Ayah Keesra, beliau terlihat tenang, tapi biasanya peka terhadap situasi dan kondisi.

"Saya heran, apa kamu kadang lupa sama usaha kamu buat sampai sejauh ini?" Beliau memulai pertanyaan yang tidak aku ketahui jawabannya.

"Kamu selalu berusaha menyia-nyiakan usaha diet kamu," lanjutnya.

Barulah aku paham arah pembicaraan beliau. Aku muak dan kehilangan nafsu makan. Apakah mereka harus sebegitu kerasnya dengan Keesra?

Entah mereka sadar atau tidak, selama ini aku lebih banyak diam. Setiap kali Ayah Keesra berbicara, aku lebih sering mendengarkan dari pada menjawab. Sementara dengan Ibu Keesra, aku hanya akan menjawab sekenanya. Mereka tidak pernah mempertanyakan hal itu, yang membuatku bertanya-tanya apakah sikapnya sama persis seperti Keesra saat menghadapi mereka?

"Apa Papa nggak pernah merasa terlalu keras sama aku?" Akhirnya kuberanikan diri untuk menjawab. "Dari semua kehidupan yang aku jalani, kenapa cuman penampilan aku yang Papa perhatikan?"

"Keesra." Ibu Keesra mencoba memperingatiku.

Namun, aku tidak peduli. Aku yang hanya menghuni raga Keesra ikut muak. "Papa nggak pernah peduli sama masalahku, keadaanku dan perasaanku."

"Kalau begitu, bagaimana perasaan kamu sebagai anak yang nggak bisa apa-apa?" tanyanya.

Kini aku menatapnya dengan mata memerah, menahan tangis. Sedangkan beliau sudah melupakan makan malamnya sepenuhnya. Kedua tangannya tertaut, membentuk kepalan dan bertumpu di atas meja.

Sementara Ibu Keesra menghela napas lelah, seolah paham apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kamu ini kalau nggak bisa apa-apa, minimal cantik," katanya.

Tanganku mulai gemetar, dan tak sadar menggenggam sendok terlalu erat. Tatapanku tak beralih sedikit pun, terpaku ke arah Ayah Keesra yang terus berbicara tanpa hati.

"Saya pikir dengan menikahi ibumu, saya bisa memilih seorang putri seperti yang saya mau, tapi saya mendapatkanmu."

Dugaanku bahwa Keesra bukan anak kandung mereka membuatku tidak bisa berkomentar. Jika saja dugaan itu tidak muncul, mungkin aku sudah mengatakan mengapa Ayah Keesra menghina gen-nya sendiri.

"Kamu jelek seperti saya dan bodoh seperti ibumu."

Kulirik Ibu Keesra yang menunduk. Aku tak dapat melihat ekspresinya, tapi auranya terlihat sangat sedih.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang