Sulit menghilangkan ciri khasku, terlebih aku sama sekali tidak mengenal kepribadian Keesra. ("Kee" yang disebutkan oleh seseorang yang kuduga ibu Keesra membuatku menebak itulah nama panggilan Mai Keesra Gauri) jadi tidak mudah menjalani hari ini tanpa terlihat aneh.
Lihat saja saat aku melangkah memasuki sekolah (omong-omong aku berangkat diantar supir) orang-orang yang kusapa "hallo" terlihat bereaksi heran. Jadi aku tebak Keesra bukan tipe yang suka menyapa teman sekolahnya. Berbeda denganku, semua yang kutemui, kusapa dengan ramah dan senyum ceria.
Setelah melewati tantangan pertama, yaitu menghadapi orangtua Keesra, kini aku harus melewati tantangan kedua, yaitu mencari tahu di mana kelas Keesra.
"Kenapa pula di jadwal nggak ada nama kelasnya. 'Jadwal pelajaran 11 IPA 1' misal." Aku mulai mengoceh.
Menanyakan kelas Keesra kepada orang lain di saat aku sedang merangkap menjadi Keesra tentu saja bukan ide yang bagus. Jadilah aku hanya berkeliling tak tentu arah sambil sesekali tersenyum ramah ke setiap murid yang berpapasan denganku. Catatan: Aku lupa seharusnya tidak perlu melakukan itu setelah menebak itu bukan kebiasaan Keesra.
"Kalau dia bisa ngelempar aku ke masa lalu, mestinya dia lempar aku ke tanggal 24 Februari. Biar aku tahu kalau aku bakal kecelakaan dan berusaha mencegahnya. Jadi aku nggak akan koma dan bisa nemuin dia yang masih hidup, terus ngasih tahu dia deh; omong-omong, kamu bakal meninggal nggak lama lagi loh." Mwuahaha!
Kalau tidak disangka sinting, paling aku dihusir. Jadi mungkin ide yang paling benar memang menempatkan jiwaku ke dalam raganya.
Refleks aku berdecak saat ragu untuk terus melangkah. Jadi aku berhenti mendadak untuk berpikir, namun agaknya keputusanku membuat langkah seseorang di belakang jadi nge-rem mendadak, bahkan menabrak bahuku.
"Ih nggak fokus nih jalannya, makanya nabrak!" seruku, menoleh ke belakang tapi berakhir mendongak saat sosok di belakangku terlalu tinggi.
"Lo yang jalannya nggak bener!" katanya, dengan nada tak terima.
"Iya deh, sori—"
Kalimatku tak terteruskan, terinterupsi oleh penemuan yang membuatku terdiam sambil terus menatap nametag cowok itu. Nero Radian Figo. Aku terus membacanya guna memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Namun, Nero Radian Figo itu berdecak dan mendorongku.
"Gue masih nggak mau ngomong sama lo, dan minggir—lo ngehalangi jalan!" Ia berlalu begitu saja setelah ucapan tak ramahnya.
Kupikir, mencari Nero Radian Figo akan bagaikan mencari jarum di dalam jerami. Rupanya semudah ini, orangnya nongol sendiri pisan. Tapi first impression-nya itu membuatku sekejap saja yakin bahwa dia adalah kunci kesusahan misiku.
Serius aku harus membaur dengannya dalam misi ini? Dan 'Masih' yang dia ucapkan adalah kata yang membuatku nyaris mencengkal pergelangan tangan Nero Radian Figo untuk bertanya, karena aku memahami itu berarti kami sedang ada masalah sebelumnya.
Dia memasuki kelas yang jaraknya tak jauh dari tempat kami berdiri barusan, dan aku mengikutinya, tapi hanya sampai di ambang pintu. Aku melongok ke dalamnya, memperhatikan langkah cowok itu sampai dia duduk di kursinya. Sejenak dia menciptakan ekspresi, "Dih apaan sih" saat melihatku sedang nemplok di kusen pintu sambil memperhatikannya.
Hingga sosok cowok yang duduk di barisan depan, tak jauh dari pintu menatapku keheranan.
Sontak saja aku memberinya senyum secerah matahari dan menyapa dengan nada riang gembira, "Ohayou gozaimasu~!"
Cowok itu seperti kebanyakan murid tadi, mengangguk canggung sambil keheranan.
Wah, ada apa sih dengan kepribadian Keesra? Kenapa menyapa teman sekolah saja terasa aneh bagi mereka?

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do I Do This? [END]
General FictionSeorang flayer cheerleader mengalami koma setelah atraksinya disabotase oleh rekan se-timnya-dia didatangi oleh seorang gadis misterius yang menawarkan kesempatan kedua dalam kehidupannya dengan syarat dia harus membantu menyelesaikan misteri di bal...