Sesuatu terputar, bagaikan film—tepatnya, aku memerankan film tersebut. Aku melihat Moky, di tepi jalan, menuju tong sampah untuk memakan tulang ayam dan bulu putihnya kotor.
Moky melihatku, membuatnya sontak berlari ke arahku.
Suaraku—terdengar lembut. "Kasihan sekali kamu, Moky. Dibuang Papa."
Hampir saja kakiku melangkah untuk menyusulnya, sebuah mobil melaju melindasnya.
"Moky!"
Namun, yang kudapati justru Jimzi, Cheera dan Moe. Kami semua tengah duduk di kantin.
"Only Yesterday—hujan, atau mendung, atau cerah, mana yang kalian suka?" tanyaku.
"Mana yang lo suka?" tanya Jimzi, seolah ingin mendengar jawabanku lebih dulu. "Gue bakal tahu jawaban mereka setelah dengar jawaban lo."
"Mendung." Aku menjawab cepat, tanpa mempertimbangkannya.
Moe tertarik untuk tahu alasannya. "Kenapa?"
"Karena gue tinggal di daerah tropis, cerah bakal berarti panas, dan gue nggak suka hujan. Mendung di tengah-tengah mereka, nggak panas dan nggak hujan. Juga, cuacanya selalu mencerminkan diri gue. Kelabu."
"Ah, gen tropis gue juga kayaknya lebih cocok sama mendung," kata Cheera, yang sekaligus menentukan pilihannya.
"Gue juga suka mendung. Cerah nggak akan berarti indah di lingkungan gue yang lebih banyak gedung. Mungkin bakal beda jawaban kalau gue hidup di lembah sakura."
Kami bertiga tertawa, kecuali Jimzi. Dia berkata, "Kalian cenderung punya jawaban yang sama kaya Keesra. Selalu. Bahkan, kalian bisa menentukan tempat kuliah kalian nanti setelah dengar pilihannya."
"Gue jadi penasaran. Kalau lo yang jawab lebih dulu, lo bakal jawab apa?" Jimzi mengarahkan pertanyaannya kepada Cheera. Namun, Cheera tidak menjawab selain terlihat bingung.
Karena tak mendapat jawaban, Jimzi beralih ke arah Moe. "Muka lo lebih berseri pas nyebut cerah."
Lalu dia kembali memperhatikanku. Sendok garpunya dia arahkan padaku. "Lo seolah punya wewenang atas pilihan mereka. Gue suka hujan."
Aku mendongak, melihat cuaca mulai mendung. Begitu aku mengarahkan pandanganku kembali ke depan, dua murid perempuan memandangku. Kami berdiri di koridor.
"Hai, Keesra. Sori, gue mau ngingetin lo kalau lo belum bayar uang iuran kaos."
Dahiku langsung mengerut, dan bisa aku rasakan ekspresiku tidak menyukai kehadiran mereka. "Kaos apa?"
"Kaos kelas."
"Kalian siapa?"
"Lo nggak kenal kita?" Mereka seakan tak percaya.
Dengusanku terdengar kasar. "Seharusnya gue kenal kalian?"
Mereka saling pandang. "Entahlah. Kita sekelas, hampir dua tahun ini. Jadi gimana iurannya?"
Aku memberi mereka uang yang mereka mau, lalu aku melangkah pergi, melewati mereka masih sambil memperhatikan keduanya, hingga ketika aku menghadap depan, Zio berdiri menghalangi langkahku.
"Hai, Kee."
Aku tidak memedulikannya, memberinya ekspresi dingin dan melewatinya begitu saja.
"Kee." Zio menahan tanganku, dan aku menyentaknya.
"Nggak usah pegang-pegang." Kalimat dinginku berhasil membuatnya menjauh, mengabur dan hilang sepenuhnya, diganti oleh pemandangan manis dari dua sahabat tak terpisahkan. Nero dan Limar.
![](https://img.wattpad.com/cover/365544812-288-k67396.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do I Do This? [END]
Fiction générale[BACA = FOLLOW] BY: Khrins ⚠️Belum direvisi! Start: Ada bukti tanggal pembuatan!!! ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ Seorang flayer cheerleader mengalami koma setelah atraksinya disabotase oleh rekan timnya-dia didatangi oleh seorang gadis misterius yang menaw...