BAB 23

17 2 0
                                    

26 April.

Lampu adalah benda pertama yang kulihat begitu mataku terbuka. Dari lampu, mataku bergerak lurus, menatap ruangan berdinding putih dengan peralatan medis yang berderit tiap beberapa saat, dan aroma antiseptik yang menusuk. Kepalaku terasa berat dan kabur, sementara tubuh rasanya mati rasa dan kaku.

Semua penglihatan ini memberiku kesadaran bahwa aku tidak sedang tidur di ranjang sendiri, yang lantas membuatku meringis saat kenangan mengerikan bagai kabut tebal mulai tergambar sepenuhnya dalam pikiranku yang baru terjaga.

Namun, selang dan monitor yang terhubung ke tubuhku dan suara bip dari monitor jantung yang terdengar secara teratur, mengingatkanku bahwa kenangan itu bukanlah mimpi buruk.

Kejadian itu nyata. Aku mengalami kecelakaan fatal saat beratraksi cheerleader.

Sedetik kemudian, derit pintu membaur dengan suara monitor, di susul oleh suara yang kukenali. "Unye bangun!"

Kemudian derap langkah yang terburu-buru sayup-sayup menghilang, tapi terdengar lagi tak lama kemudian dengan jumlah yang melebihi sebelumnya dan terdengar tidak beraturan.

"Hai, Unche." Sapaan lembut disusul sosok wajah asing hendak kurespons dengan sapaan pula. Namun, ketika aku hendak melakukannya, tak ada suara yang keluar dari mulutku.

Sebelum aku sempat mengusahakannya untuk bisa bersuara, sendu sedan di sisi kananku mengalihkan perhatianku. Ibu di sana, duduk di atas kursi dengan wajah sembab penuh air mata. Sementara Ayah berdiri di belakang Ibu, memperhatikanku dengan wajah penuh kelegaan.

"Kamu bisa menggerakkan tangan?" tanya sosok asing tadi, yang kukenali sebagai dokter.

Aku tidak menjawab, tapi aku mencoba menggerakkan tangan, ada rasa nyeri yang tajam menyebar di seluruh tubuh.

Dokter itu mencondong ke arahku dengan tubuh sedikit merendah, "Kamu mengenal mereka?" tanyanya, menunjuk Ibu dan Ayah.

Aku yang belum bisa mengeluarkan suara bahkan untuk bercicit hanya mengedipkan mata, yang dokter itu ketahui sebagai jawaban 'iya', yang sontak memberi reaksi lega di wajah mereka.

"Kamu sudah terlelap cukup lama, dan dunia telah berjalan tanpa kamu," kata Dokter. Ada senyum di wajahnya ketika menjelaskannya dengan suara lembut. Sementara tangannya sibuk mengecek beberapa area tubuhku.

Kemudian, dia kembali menjelaskan dengan pelan dan sabar, "Kamu telah koma selama dua bulan akibat kecelakaan."

Dokter itu kemudian menatapku, memberiku senyum lalu mengalihkan perhatian ke arah Ayah dan Ibu. Tangannya menunjukku setiap kali dia berbicara. "Proses pemulihan akan panjang dan penuh tantangan. Otot tubuhnya menjadi kaku akibat lama tidak digerakkan, jadi dia perlu terapi dan tolong jangan dulu berikan informasi berlebihan untuknya, karena saat ini kondisinya masih rentan...."

Aku tidak begitu mendengarkan kalimat yang dokter itu katakan setelahnya, karena aku hanya bisa fokus pada suara bising di kepalaku dan perasaan terombang-ambing.

Setelah mengatakan beberapa hal, dokter itu pamit undur diri. Namun, sebelum benar-benar pergi dia sempat memberiku senyum.

Segera saja Ibu dan Ayah mengerubuniku, mereka tersenyum ke arahku, memperlihatkan betapa leganya mereka melihatku akhirnya terbangun setelah koma selama dua bulan. Aku sendiri belum bisa melakukan apa-apa, hanya bisa membalas tatapan mereka.

Hingga tahu-tahu saja pintu menjeblak terbuka, membuat kami semua terkejut. Lalu Moe muncul dengan wajah panik. Namun, sebelum dia mengatakan apa-apa, perhatiannya teralihkan padaku. Matanya terbelalak.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang