BAB 21

18 2 0
                                    

Desahan panjang penuh derita adalah yang Moe lakukan barusan. Dia tak semangat menyantap makan siangnya di kantin. Begitu juga denganku. Gayanya yang bertompang dagu seolah tengah memikirkan banyak hal. Aku tebak, dia sedang memikirkan nasib hidupnya setelah Jimzi dan Limar mengetahui kebohongannya.

"Lo nggak usah khawatir. Menurut gue, banyak teman nggak penting kalau lo udah punya satu teman yang bisa dipercaya. Maksudnya, lo bisa bertahan meski seisi sekolah berusaha ngehancurin lo." Yah, beberapa hari ini aku jadi lebih puitis.

Mendengar Moe terkekeh, aku mendengus karena yakin dia geli mendengar perkataanku. Namun, dapat kulihat wajahnya menghargai apa yang aku katakan padanya.

"Gue nggak khawatir kok. Gue juga udah siap buat nerima risikonya. Toh kalau orang-orang marah karena merasa ditipu, itu wajar. Gue nggak akan melarikan diri."

Ah, kenapa sisi Moe yang itu tidak pernah dia perlihatkan di rumah? Secara pemikiran, dia lebih dewasa dariku.

"Unye pasti bangga sama lo. Termasuk bangga lo jual robot transformers Optimus Prime punya dia, yang kombinasi Jetfire pula."

Moe tertawa mendengarnya. "Gue harap itu benar."

Dia menambahkan. "Masih gue sisain yang Megatron, kok."

Aku cukup tersenyum menanggapinya, lalu situasi kami terjeda oleh habisnya topik obrolan. Karena aku tidak memesan makanan, aku hanya sibuk menyeruput jus jambuku.

Akhirnya, Moe mengisi kesunyian dengan ucapannya. "Sebenarnya gue lagi mikirin gimana caranya supaya orang-orang percaya sama gue kalau sebenarnya Jimzi yang manipulasi."

Pada akhirnya, aku juga memikirkannya. Sambil menyandarkan punggung di kursi, pandanganku menerawang jauh, memikirkan banyak hal.

"Kita perlu buktiin kalau Jimzi yang ngefitnah lo, biar lo nggak dianggap palsu sama nipu lagi," kata Moe.

Kursi tempatku duduk berdecit saat aku bergerak untuk menegakkan tubuh. Kutumpukan kedua tanganku di atas meja, kemudian menatap Moe dengan intens.

"Moe, bukan kepalsuan soal itu yang mereka maksud tadi." Aku memberitahu.

Alis Moe mengerut. "Terus apa?"

Aku kembali menyandarkan tubuhku, lalu menghela napas. "Entahlah. Gue belum yakin dan sekarang gue frutrasi banget. Gue nggak bisa mikir. Bisa nggak ya liburan di saat-saat seperti ini."

Sebelum Moe sempat merespons, tindakan seseorang yang menaruh sesuatu di atas meja kami dengan cara menggebrak meja membuat Moe dan aku terlonjak.

"Buat Tukang Laundry dan Cewek Palsu. Undangan istimewa ulang tahun Limar." Rupanya Jimzi, dan Limar yang setia berdiri di belakang Jimzi. Begitu juga dengan Cheera, tapi gadis itu tampak jadi pendiam beberapa hari ini.

"Lo nggak perlu terbebani sama hadiah apa yang cocok buat gue. Lo kasih hadiah kaos kaki juga bakal gue hargai, kok. Tenang aja," ucap Limar. Niatnya ingin bersikap baik, tapi kesannya mengejek.

"Gimana kalau nggak kita kasih hadiah sekalian kita nggak datang?" tanyaku, menantangnya.

Jimzi dan Limar saling pandagan. Senyum mereka, lagi-lagi, mengandung sesuatu. Astaga, aku tidak menyukai lagak mereka yang satu itu.

"Lo bakal nyesel. Soalnya bakal ada kejutan buat lo," jawab Jimzi.

Aku mengoreksi. "Ancaman lebih tepatnya."

"Sebagai teman yang baik, gue mengundang kalian dengan harapan besar kalian mau datang," ucap Limar.

"Musuh yang baik lebih tepatnya." Koreksiku lagi.

Why Do I Do This? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang