O8. Jejak Luka, Jejak Dendam

7.4K 369 18
                                    

selamat membaca semua! KOMEN SEBANYAK-BANYAKNYA! semoga suka❤️

───

HAPPY READING

──

O8. Jejak Luka, Jejak Dendam

•••

Jemari lentik itu menekan setiap not piano dengan perasaan, memainkan lagu River Flows In You yang indah ciptaan Yiruma. Malam itu kamar yang dominan dengan warna abu-abu hanya dipenuhi oleh suara dentingan piano yang menggema, seolah-olah melayang di udara. Raja menikmati setiap nada yang mengalun, seakan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menenangkan hatinya yang kacau.

Piano itu adalah satu-satunya tempat di mana Raja bisa menyalurkan semua perasaan yang selama ini terpendam. Tidak dengan manusia, melainkan piano kesayangannya yang setia dalam dunia yang terasa begitu sempit. Piano adalah ruang bebas bagi Raja untuk berbicara tanpa harus membuka mulut dengan cerita panjang.

Sudah hampir dua tahun piano itu di biarkan berdebu di sudut kamar dengan tertutup kain lusuh, tidak tersentuh sama sekali. Raja masih ingat dengan jelas bagaimana Pramariz melarangnya untuk bermain piano itu. Alasan yang tidak pernah di jelaskan dengan gamblang. Mungkin Pramariz berpikir musik akan membawa Raja semakin jauh dari dunia yang mereka kenal.

Namun, Raja tidak bisa berhenti berpikir bahwa hanya musik yang membuatnya merasa hidup. Musik adalah cara dia bernafas, cara dia merasakan kebahagiaan yang sejati. Tanpa itu, Raja merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Jemari Raja berhenti di bait terakhir lagu, dan suasana hening sejenak mengisi kamar. Tatapan laki-laki itu kemudian jatuh pada bingkai foto yang terletak di atas piano, dengan lembut ia menyentuh ujung bingkai itu, seolah-olah berusaha mengingat sesuatu yang telah lama terlupakan.

Foto itu menggambarkan empat laki-laki yang tengah tertawa lepas, berpelukan di atas panggung setelah pertunjukan yang sukses. Empat wajah yang tak asing, wajah-wajah teman-teman band-nya. Mereka pernah berbagi mimpi yang sama. Mereka pernah menjadi satu, saling mendukung dan percaya pada kemampuan masing-masing. Namun kini, semuanya terasa begitu jauh.

Raja memejamkan mata sejenak, membiarkan kenangan itu mengalir begitu saja. Dia teringat saat-saat ketika ia memutuskan untuk keluar dari Maniac. Tanpa alasan yang jelas. Tanpa penjelasan yang memadai. Semua itu datang begitu saja, seperti keputusan yang tak bisa ditahan.

Teman-temannya marah. Mereka merasa di khianati. Band yang sedang naik daun, yang sedang mengukir namanya di dunia musik, tiba-tiba harus kehilangan salah satu anggotanya tanpa pemberitahuan.

Suasana malam itu begitu sunyi, hanya terdengar suara dentingan jam dinding yang berirama, mengisi kekosongan ruang studio. Tiga laki-laki itu duduk di kursi masing-masing, mata mereka terarah ke pintu yang masih tertutup rapat, menunggu seseorang yang seharusnya sudah hadir sejak satu jam yang lalu.

"Raja kemana, sih? Bukannya kita udah janji jam delapan malam? Sampe satu jam belum juga datang!" Abimanyu Laksmana melemparkan keluhan, sambil melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat.

Arion Jorel Mahawira yang duduk di pojok ruangan hanya menghela napas, berusaha tenang. "Sabar, Bi. Mungkin macet di jalan atau ada urusan mendadak."

"Nggak mungkin macet sampai satu jam, Ar," jawab Abimanyu dengan nada kesal. "Kalau ada urusan, ngomong di grup. Hp buat apa kalau nggak di pake buat kabarin?" Ia berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir, tubuhnya semakin gelisah.

THE SIXTH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang