17. Ketakutan dan Kekhawatiran

44 37 1
                                    

Kini seluruh penghuni rumah tengah berkumpul di ruang keluarga, membahas hal-hal yang akan dilakukan dikemudian hari. Apalagi selepas kelulusan Hasya, Zayn yang bersikeras ingin Hasya melanjutkan pendidikan di Universitas tempat Falah berkuliah dan Mustika yang meminta jeda agar anak perempuannya bisa istirahat lebih dulu. Zayn beranggapan jika Hasya tidak bisa melangkah sendiri dan harus selalu diarahkan olehnya.

Dua jam berlalu, Hasya memilih untuk kembali ke kamar lebih dulu dari pada harus terus-terusan mendengar ceramah dari sang ayah yang selalu memojokkan dirinya. Entah mengapa satu minggu setelah kelulusannya, ia mulai merasa ada perubahan drastis dalam dirinya, dia yang berniat ingin menjadi lebih percaya diri, justeru semakin berkecil hati, apalagi setelah Zayn menekannya untuk melanjutkan pendidikan.

Hasya sering mengisolasi diri di dalam kamar, makan pun sering ia lakukan di dalam kamar. Ia hampir tak pernah memijakkan kaki selain di rumahnya sendiri, bahkan hanya untuk berjemur di halaman, ia merasa takut.

"Sayang... nanti ikut Bunda ke mall ya? Kita shopping. Udah lama kita enggak keluar bareng," ajak Mustika seraya mengelus pucuk kepala putrinya, ia kini sedikit berubah, dari yang semula fokus bekerja diluar, sekarang lebih memilih menghabiskan waktunya dirumah.

"Hasya takut, Bun..." cicitnya.

"Takut kenapa? Kan ada Bunda, kamu enggak sendirian, sayang..."

"Emmm, ya udah. Hasya siap-siap dulu, Bun. Tapi janji ya, jangan lama-lama," pintanya. Setelahnya Hasya bergegas memilih baju dan bersiap untuk mandi. Mustika tersenyum penuh haru, akhirnya ia bisa membujuk putrinya keluar dari rumah.

Setengah jam berlalu, Mustika kembali mengetuk pintu kamar putrinya dengan pelan, sebab ia tau jika putrinya itu mudah terkejut.

"Sayang? Udah siap?"

"Bun, Hasya capek. Pengin istirahat, lain kali aja kita keluar bareng. Maaf ya, Bun."

Tanpa keluar apalagi membukakan pintu, Hasya menjawab dengan posisi bersembunyi dibalik selimut. Mood-nya benar-benar gampang berubah hanya karena hal sepele. Tadi, ia tak sengaja mendengar percakapan ayah dan bundanya yang sesekali menyebut namanya dengan nada tidak suka, membuatnya tersinggung dan langsung memutuskan untuk tidak jadi ikut.

***

"Untuk kali ini Ayah bakalan nurutin keinginan kamu. Tapi Ayah tetap enggak mau pendidikan kamu berhenti sampai disini saja!" di halaman belakang tengah terjadi perdebatan sengit antara ayah dan anak.

"Ayah enggak mau tau, pokoknya kamu harus tetap lanjut kuliah di tempat kakakmu!" sambung Zayn, membuat dada Hasya beregmuruh.

Hasya bru saja mengutarakan keinginannya untuk tidak melanjutkan pendidikan dan ingin mencari pekerjaaan dengan mengandalkan ijazah SMA. Zayn tentu begitu murka, ia tak mau jika keturunannya ada yang tidak kuliah.

"Mau cari pekerjaan yang seperti apa? Hah? Keluar rumah aja takut, bicara sama orang, bersosialisasi dengan lingkungan malah menghindar. Memangnya dengan cara hidup kamu yang seperti itu, kamu bisa bertahan?"

"Memangnya dengan kondisi Hasya yang seperti ini, melanjutkan pendidikan di Universitas dengan ribuan mahasiswa juga bisa bertahan? Bukankah sama saja? memperburuk keadaan?"

Wajah Zayn memerah, tampak sekali ingin menghancurkan sesuatu yang ada disekitarnya dalam waktu sekejap, kalau saja Mustika tidak menengahi, mungkin Hasya sudah menjadi pelampiasan, yakni dibanting.

Hasya berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Menangis sejadi-jadinya, kalau saja boleh mengulang, ia tak akan meminta untuk dilahirkan. Hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan bukanlah suatu diinginkan. Kehidupan tenang yang selalu ia damba, mungkin hanya akan menjadi harapan yang pupus sia-sia.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang