27. Belajar mandiri

21 18 1
                                    

Kini, Hasya dan Nawam sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Rasanya masih seperti mimpi bagi seorang Hasya, gadis dengan berjuta rasa sakit akhirnya mampu memikat hati dari seorang pria yang terlihat hampir sempurna dalam segala hal.

Kehidupan Hasya seperti di taman yang kanan kirinya dihiasi oleh berbagai macam serta warna dari bunga yang ada diseluruh dunia. Tak dapat di deskripsikan secara detail, namun sangat bisa dirasakan oleh penghuninya.

Rumahnya kini bertambah, tak hanya sebatas keluarga, apalagi setelah keberadaan sang kekasih dalam hidupnya.

Luka yang dulu selalu menganga, kini sudah tertutup oleh kasih sayang dari orang terkasihnya. Trauma yang enggan pergi dari kehidupannya, perlahan mulai tidak betah untuk tetap tinggal di tempat semula. Segala ketakutan yang ada, sirna ditelan oleh kenyamanan.

Semuanya menjadi indah. Layaknya wanita dan pria yang baru memulai awal sebuah kisah.

***

"Duh, Pak Hamid libur lagi, naik apa ya ke rumah sakitnya, mana orang rumah lagi pada keluar semua," gerutu Hasya sembari mengikat tali sepatunya.

Karena terlalu terburu-buru, Hasya memilih untuk mengenakan gamis berwarna hijau sage dengan motif bunga, dengan kerudung pashmina yang warnanya juga senada. Ngomong-ngomong itu kerudung yang dulu sempat dikasih sama Harsa pas masih jaman SMA.

Surat kontrol, kartu identitas, dan segala keperluan sudah dikemas dalam tas gendong yang berukuran kecil. Bahkan, ia tidak sempat sarapan karena tidak ada yang memasak untuk dirinya. Sang bunda menemani ayahnya ke tempat saudara yang tinggal di luar kota, mereka berangkat pagi-pagi sekali, sehingga tidak sempat untuk membuat sarapan terlebih dahulu. Sedangkan Falah? Jangan ditanya dia kemana, sudah pasti mulai sibuk dengan kuliahnya kembali.

Akhirnya Hasya memutuskan untuk memesan grab. Lima menit menunggu, mobil sudah terparkir di depan halaman rumah Hasya.

"Sendirian mbak?" Tanya sang supir yang usianya sudah paruh baya.

"Iya pak, kebetulan orang rumah lagi pada keluar semua," ujar Hasya menjawab dengan sopan.

"Mau jenguk temen apa gimana mbak?"

"Emmm, saya sendiri yang mau berobat pak. Ada jadwal kontrol sekarang," jawab Hasya santai.

"Loh? Mbak-nya yang sakit? Sakit apa emangnya? Kelihatannya sehat-sehat saja," tanya sang bapak yang sedikit ragu dengan jawaban Hasya.

"Hehe, kebetulan saya mau ke psikiater pak," ujar Hasya sembari mengulas senyumnya.

"Oalah gitu, sehat-sehat ya mbak... Jangan banyak pikiran," nasehat sang bapak.

"Iya pak, trimakasih. Doakan nggih pak..."

Sesampainya di rumah sakit, Hasya kelimpungan dengan keadaan sekitar. Yang biasanya semua diurus oleh Nawam, sekarang ia harus mengurusnya sendiri alias belajar mandiri. Kebetulan Nawam sedang ada kegiatan lain, entah apa, Nawam tak menjelaskan secara detail. Awalnya Hasya sempat merajuk, bahkan meminta supaya tanggal kontrolnya diundur dengan dalih supaya Nawam bisa menemaninya, namun karena obatnya juga sudah habis, Nawam menolak keras permintaan Hasya. Ia meyakinkan dengan sepenuh hati agar Hasya mau mengikuti saran dari dokter, tidak sesuka hati mengubah jadwal kontrolnya, apalagi tanpa halangan apapun.

"Duh, kalau tiba-tiba aku pingsan gimana ya? Aku kan nggak bisa ketemu orang banyak," batinnya. Bahkan sedari tadi telapak tangannya sudah berkeringat dingin. Ia berulang kali menarik nafas untuk menghilangkan rasa gugupnya, namun hasilnya nihil. Ia tetap saja panik, khawatir secara berlebihan.

Waktu menunjukkan pukul satu, sedangkan Hasya masih saja duduk di kursi pendaftaran tanpa mengambil nomor antrian terlebih dahulu. Ia terlalu takut untuk menekan tombol yang berisikan nomor antrian tersebut. Jemarinya seolah kaku, ia hanya mampu duduk mematung sambil melihat keadaan sekitar.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang