Berita penculikan Hasya segera menyebar di area sekolah. Entah darimana mereka tau, sebab Hasya belum membuka mulut paska kejadian, ia masih bungkam, malas mengingat peristiwa tersebut. Membutuhkan waktu satu minggu untuk memulihkan lukanya, hanya Raina dan Ben yang selalu setia menemani dirinya selama dirawat di rumah sakit. Pak Hamid tiba-tiba dipanggil ke luar kota untuk bertugas sebagai supir pribadi Falah, pemuda itu rupanya juga baru saja menjadi korban tabrak lari. Entah kebetulan atau apa, peristiwa itu terjadi di hari yang sama.
"Sya, kamu yakin besok udah mau berangkat sekolah? Menurut aku, mending kamu dirumah aja dulu," saran Raina, sembari mengemas barang-barang keperluan milik Hasya yang akan dibawa pulang. Ben sudah berada di luar, ia sedang mengurus biaya administrasi yang tentu saja menggunakan uang pribadi milik Hasya.
"Enggak papa kok. Lagipula aku udah bosan tiga hari terbaring di ranjang rumah sakit, aku kangen sama jajanan kantin, kangen ketemu teman sekelas," bohongnya, padahal ia hanya tidak ingin sendirian di rumah.
"Emmm, Sya, aku mau tanya boleh?" Raina berujar hati-hati, Hasya tersenyum tipis, "boleh, tinggal tanya aja. Kenapa? Kok kayak penting banget," hening sejenak, Raina lantas mendudukkan diri di samping Hasya, kemudian menggenggam jemari lentik itu. "Ayah sama ibu kamu, tau kalo kamu dirawat di rumah sakit?" Raina semakin mengeratkan genggamannya, "tau kok, mereka tau. Cuman karena lagi pada sibuk sama kerjaan aja, jadinya mereka enggak sempet jengukin aku. Tapi enggak masalah kok, kan udah ada kamu, Ben, sama Mbak Arumi. Itu aja udah cukup," lugasnya, meski menyayat hati, setidaknya masih ada sedikit manusia yang peduli dengannya.
Tepat pukul satu siang, Hasya sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Ia langsung menuju rumah dengan ditemani oleh Ben dan Raina. Untuk Arumi, ia sudah lebih dulu pulang dengan alasan ingin membersihkan kamar sekaligus menyiapkan makanan. Raina berulang kali dibuat kagum saat kakinya baru saja menapakkan kaki di rumah megah itu, matanya membola, ia menggeleng seolah tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini. "Kayak istana barbie, pantesan penghuninya laksana Tuan Putri," gumamnya. Ben mencubit pelan lengan Raina, "please jangan norak, aku tau kamu baru pertama kali liat yang beginian, tapi, hahhh, terserah kamu deh," jengah Ben. Sebenarnya ia juga tak habis pikir jika temannya ini merupakan anak dari seorang konglomerat, namun ia terlalu gengsi untuk menunjukkan perasaan kagumnya.
"Mbak Hasya-nya lagi bersih-bersih dulu," ucap Arumi seraya membawa satu buah nampan berisi dua gelas jus jeruk dan beberapa camilan. Ben tersenyum canggung, sedangkan Raina, ia masih sibuk berkeliling melihat berbagai macam bentuk lukisan yang terpajang. "Silahkan dinikmati hidangannya," imbuh Arumi yang langsung dibalas ucapan terima kasih oleh keduanya.
"Hasya enggak pernah bilang kalo dia se-kaya ini, kira-kira pekerjaan kedua orang tuanya apa ya?" monolog Raina. "Ngepet sama ternak tuyul," tukas Ben sembari menyeruput jus jeruknya. "Ehhh, serius?" Ben mengangguk, enggak liat kamu tadi, disamping rumah Hasya ada gedung terbengkalai, nah itu pasti sarang tuyulnya," Papar Ben dengan wajah serius. "terus babinya ditaruh mana?" tanya Raina polos, "nyari lah, berburu dulu di hutan," Raina hanya mengangguk. Ia percaya dengan bualan Ben.
"Gampang banget dibodohi. Ra, jangan mudah percaya sama omongan laki-laki," rupanya Hasya sudah selesai dengan urusannya, kini ia ikut duduk disamping Raina. Wajah pucat saat baru kembali pulang dari rumah sakit sudah kembali berseri hanya dengan beberapa polesan pelembab dan juga lip tint, membuat Ben terpana seketika. "Matanya dijaga ya, jangan sembarangan natap orang," setelahnya, Ben menerima timpukan bantal kecil dari Hasya, tepat sekali mengenai wajah cengonya.
"Kamu ternyata cantik juga ya..." rupanya Ben belum selesai mengagumi keindahan yang ada didepannya saat ini. "Dih, enggak banget, dipuji kok sama kamu," sarkas Hasya. "Oh gitu, coba aja kalo yang muji Kak Aland pasti udah berbunga-bunga tuh hati," sindir Ben. "Emang aku cewek apaan, kalian berdua sama aja, enggak ada bedanya". Ben tidak berbohong dengan apa yang barusan dikatakannya. Hasya cantik, bahkan awal masuk sekolah pun, pandangan Ben memang sudah tertuju pada Hasya. Hanya saja laki-laki itu ragu atas perasaannya sendiri. Ia takut, jika dirinya hanya sebatas penasaran, hingga berujung dengan melukai hati seorang perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Novela Juvenil"Apapun keadaannya nanti, kamu harus tetap sembuh," aku menunduk lesu mendengar penuturannya. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan, Mas?" Ia bertanya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri...