4. Perang Mulut

164 139 11
                                    

"Hay, perkenalkan nama aku, Ben Candra. Panggil saja Ben, aku murid pindahan dari SMA Bumi Pertiwi," perkenalan singkat sengaja dilakukan untuk mengawali hari. Pemuda dengan tinggi 175 cm itu mampu menarik banyak perhatian, terkhusus kaum hawa. Pak Mukhtar selaku guru Biologi segera mempersilahkan Ben untuk duduk di sebelah Kevin.

Hasya dapat menangkap dengan ekor matanya, bahwa Ben sempat mengelap meja dan kursi yang akan ditempatinya menggunakan tisu basah. Setelahnya barulah ia menyemprotkan hand sanitizer pada telapak tangannya. Satu lagi yang membuat Hasya tak habis pikir, Ben yang notaben-nya adalah seorang pria, dengan penuh teliti menata peralatan sekolah, mulai dari buku, tempat pensil, penggaris, dua buah bolpoin sampai tersusun rapi. Bahkan tak ada yang miring barang sedikitpun. Bukan hasya Hasya, Kevin saja sampai melongo melihat gerak-gerik teman sebangkunya itu.

***

"Boleh gabung enggak? Mejanya penuh semua soalnya," tanya salah seorang siswa, rupanya Ben. "Silahkan, ini tempat umum, jadi siapa saja boleh duduk disini," jawab Hasya. Raina tak ambil pusing, ia sedang merinci pengeluaran dan pendapatan di bulan ini dari hasil jualannya. Lihat, ke kantin saja, ia harus membawa buku.

Ben hendak berdiri, namun pergelangan tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Hasya, "mau kemana? Belum makan udah mau main kabur aja," tuding Hasya. "Siapa yang mau kabur? Aku cuman mau beli tisu," jujur Ben. Hasya memasang wajah juteknya, lantas menunjuk ke tengah meja menggunakan dagunya, "tuh, ada tisu segede itu kamu enggak liat?" Ben malah bersedekap dada, "mending beli daripada harus pakai yang itu, dipake banyak orang, takutnya udah enggak higienis lagi".

Malas meladeni labih lanjut, Hasya membiarkan pemuda itu masuk ke dalam kerumunan untuk membeli barang keramat yang selalu berada disisinya. "Itu kayaknya sakit COD ya, Sya? Temen aku dulu pernah tau kayak gitu, bahkan sampai di ruqiyah," terang Raina. Hasya cengo, "Ra, yang pertama, bukan COD melainkan OCD. Iya tau, hurufnya sama, cuman letaknya beda. Terus yang kedua, kenapa di ruqiyah? Kan bisa tuh ke psikiater," heran Hasya. "Psikiater kan gunanya menangani ODGJ, Sya. Sedangkan temen aku itu waras," ia berbicara seolah paham dengan apa yang baru saja dipaparkannya. Hasya terkekeh, "kata siapa kalo psikiater itu hanya menangani ODGJ saja, tugas mereka adalah mendiagnosis dan memberikan resep obat kepada para pasien dengan gangguan mental, termasuk depresi, anxiety disorder, bipolar, kepribadian ganda, OCD, PTSD, dan masih banyak lagi. Jangan sembarangan kalo ngomong, takutnya ada yang denger, dan berujung tersinggung," nasehat Hasya. "Wahhh, kamu pinter banget, Sya. Aku saranin nanti kamu jadi psikiater aja, pasti pasiennya pada betah tuh, kan kamunya cantik, pinter lagi," puji Raina.

"Ra, enggak ada dokter yang secara terus-menerus mau bertemu dengan pasiennya. Ada kalanya mereka menginginkan jeda. Entah itu untuk beristirahat, mempelajari gejala pasien, memikirkan bagaimana agar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien dapat berkurang hingga berujung pulih. Bahkan tak jarang ada beberapa yang memasrahkan semuanya kepada Tuhan, sebab merasa sudah diluar kendalinya. Mereka tentu ingin tetap saling bertegur sapa. Namun, bukan lagi di tempat yang sama. Melainkan, di tempat yang mampu membuat keduanya tersenyum bahagia tanpa menyembunyikan luka," jelas Hasya. Raina tertegun, hingga tanpa sadar air matanya lolos begitu saja, sedangkan Ben, lelaki itu rupanya sudah kembali kemudian ikut menyimak penjelasan dari Hasya.

"Kamu sepertinya pengalaman banget di bidang ini," suara Ben kembali membuat suasana hati Hasya berubah. Dengan terpaksa ia lantas menoleh sembari mengulas senyum demi menghargai sanggahan Ben. "Biasanya, orang yang bisa memahami adalah orang yang pernah mengalami," imbuh Ben. "Dan biasanya, orang yang tiba-tiba bertanya adalah orang yang hanya sebatas ingin tau saja," sarkas Hasya.

"Ehhh, Sya! Hidung kamu berdarah!" teriak Raina, yang ditunjuk pun masih bingung, "aku?" tanya-nya. Raina tak menjawab, ia mengambil beberapa helai tisu untuk mengelap hidung yang semakin gencar mengeluarkan darah. Kepalanya memang sudah pening sejak tadi, pandangannya buram, ia terjatuh tepat di bahu Ben, yang otomatis darah segarnya ikut mengenai seragam yang dikenakan oleh pemuda itu.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang