23. Dokter, apakah ada yang salah?

28 24 1
                                    

Malam hari itu masih diisi dengan genangan air mata dari para penghuni rumah. Hasya merasa diperhatikan kembali, setelah keberadaan Nawam, kini orang tuanya perlahan sudah mulai berubah, mereka kembali memberi perhatian penuh, apalagi setelah mengetahui apa yang telah menimpa anak gadisnya itu.

Mariah bahkan sekarang memilih berhenti bekerja agar bisa merawat Hasya. Sekarang, Bachtiar lah yang fokus memegang kendali atas ekonomi sebagai kepala keluarga.

"Kata Nawam, Minggu depan kamu udah bisa mulai konseling, sayang..." Ucap Mariah seraya menyuapi Hasya.

"Serius bun? Hasya udah nggak sabar pengin ketemu sama psikiater, Hasya pengin segera diobatin, biar cepet sembuh," girangnya.

"Iya sayang. Semua, Nawam yang urus. Bunda juga tau karena tadi Falah yang bilang. Abang kamu itu lho, kayaknya setuju banget kalo kamu sama Nawam, ketimbang sama Ersya," papar Mariah.

Hasya hanya tersenyum simpul. Memang benar apa yang dikatakan oleh bundanya itu, Falah cenderung lebih suka Hasya dekat dengan Nawam daripada Ersya yang ujung-ujungnya hanya menambah luka bagi kehidupannya. Sebagai seorang kakak laki-laki, ia merasa gagal melindungi adiknya dari laki-laki brengsek.

"Sayang, bunda boleh tanya?" Mariah sedikit penasaran, bagaimana awal mulanya Hasya bisa bertemu dengan Nawam, hingga membuatnya begitu akrab sampai sekarang.

"Boleh bun, mau tanya apa?"

"Kamu kenal Nawam dimana? Nggak mungkin kan, dari sosial media?"

"Kenapa nggak mungkin, bunda? Kan zaman sekarang gampang banget kalau mau kenal sama orang," jawab Hasya, bohong. Hasya memang belum berniat sama sekali untuk menceritakan awal mulanya ia bertemu dengan Nawam, karena pada  hari itu, merupakan hari paling buruk sepanjang hidupnya, karena diwaktu itulah Hasya ingin mengakhiri hidupnya.

Mariah terkekeh. "Terserah kamu aja lah, yang penting kamu bahagia, bunda seneng lihatnya. Nawam anak yang baik, sayang... Dijaga ya, jangan sampai hilang," peringat Mariah.

"Emangnya mas Awa itu anak kecil, kok sampai hilang. Ya nggak bakal lah Bun, mas Awa bakal nemenin Hasya sampai kapan pun," jawab Hasya penuh semangat. Tak terasa makanannya sudah habis, Mariah pun pergi keluar kamar dan membiarkan Hasya beristirahat agar staminanya tetap terjaga, mengingat besok akan ada jadwal ke dokter untuk pertama kalinya.

Hasya POV

Pagi ini, aku disambut dengan aroma nasi goreng khas buatan bunda. Ayah sekaligus bang Falah sudah duduk di meja makan, mereka sedang menungguku yang ternyata cukup lama selama bersiap-siap.

"Pagi...," sapaku pada semua yang sudah siap dengan makanannya.

"Pagi sayang," jawab ayah dan bunda serentak.

"Pagi tuan putri, yaelah lama banget, buruan laper nih," iya benar, itu suara bang Falah. Dia sudah mulai usil kembali.

"Senengnya yang mau kencan," ledeknya, sembari memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut. 

"Apaan sih bang, orang mau ke dokter kok dikira kencan, syirik aja," sinisku yang tak terima dikatakan kencan olehnya. Padahal memang iya, aku dan Mas Nawam berencana kencan setelah mengunjungi dokter. Aku juga sudah meminta izin kepada bunda, dan dibolehkan.

"Makanya punya pacar dong, biar bisa di ajak kencan!" Sambungku.

"Nah kan, ketahuan! Yah, Bun... Liat nih, anak perempuannya udah mulai berani kencan," adu bang Falah kepada ayah dan bunda yang hanya ditanggapi oleh senyuman saja. Bang Falah mendengus kesal.

Aku menjulurkan lidah, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Melihat wajah bang Falah suram adalah sebuah hiburan yang sayang untuk dilewatkan.

Suara klakson mobil menghentikan aksi makan kami sejenak. Sepertinya itu suara mobil Mas Awa. Aku bergegas keluar setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang