Pak Hamid segera melajukan mobilnya membelah jalanan kota, ia tahu betul jika Hasya sedang tidak ingin diajak bicara. Persoalan rumah tangga majikannya tak lepas dari pandangan matanya, ia sudah tau jika sepasang suami istri itu memperlakukan kedua anaknya dengan cara yang berbeda. Wajar, ia sudah bekerja puluhan tahun, naik turunnya kondisi ekonomi pun hampir ia ketahui seluruhnya.
Sampai di sekolah Hasya mendadak menjadi pusat perhatian, dugaannya benar, video yang kemarin baru saja Juwita tunjukkan pada teman sekelas sekarang sudah menyebar hampir ke seluruh penghuni sekolah. Namun, Hasya sengaja mengabaikan dengan tetap berjalan melewati anak-anak yang secara terang-terangan membicarakannya di depan langsung.
"Bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian lagi?" bisik Juwita saat Hasya baru tiba di kelas.
"Biasa aja. Enggak ada yang istimewa," jawabnya.
Rambut yang sudah rapi seketika menerima perlakuan berupa jambakan, membuat pemiliknya memejamkan mata menahan sensasi nyeri di kepala. Juwita memang tak segan-segan menghajar korbannya di depan umum. Ini masih pagi, namun ia sudah membuat ulah, tidak ada yang berniat untuk ikut campur, disaat seperti ini mereka lebih memilih menggunakan kamera handphone-nya untuk merekam adegan langka itu. Hasya mengepalkan tangannya, hendak meninju wajah yang kini tengah menyeringai tipis menatap dirinya, hatinya memaki namun otaknya menolak melakukan tindakan keji itu. Meski bisa dibilang sebagai bentuk perlindungan diri, namun ia tak mau mengotori anggota tubuhnya sendiri.
"Udah..." pintanya. Banyak yang merekam kejadian hari ini, takut jika dirinya viral. Tentu ia masih punya rasa malu meski banyak yang percaya jika dirinya adalah korban.
"Kamu bisa kan? Bisa enggak sekali aja ngelawan, jangan diem aja. Sikap seperti itu yang justeru semakin membuat aku ingin menyiksa kamu lebih kejam dari biasanya," tangannya beralih mencengkeram bahu Hasya.
"Aku bukan kamu, yang dengan seenaknya membuat orang lain mengalami penderitaan tanpa akhir."
Juwita lantas mendorong Hasya hingga jatuh, kepalanya membentur gagang pintu. Menimbulkan bunyi cukup keras dan mengundang perhatian kelas sebelah. Suasana semakin riuh, beruntung masih ada dua anak yang mempunyai rasa simpati, mereka membantu Hasya untuk berjalan menuju UKS, meninggalkan Juwita yang tengah menggeram kesal. Dia mendorong siapapun yang masih berkerumun dan menjadikannya pusat perhatian. Melontarkan sumpah serapah yang ditujukan untuk gadis yang kini sudah terbaring di ranjang UKS.
Hasya baru mengikuti pelajaran setelah dirinya benar-benar bisa berdiri sempurna. Meski masih sedikit pening, ia tak mau membolos dengan sembunyi dibalik alasan sakit. Tak mau ada yang tau perihal masa lalunya, ia memilih bungkam jika ditanya seputar apa saja yang membuat Juwita memiliki dendam padanya. Bukan karena apa, melainkan dirinya juga tidak tau. Saat baru saja masuk, kelas nampak begitu hening, ia lupa jika sekarang adalah jam olahraga, yang dimana ada praktek rol belakang di gedung olahraga samping aula. Gegas ia berganti pakaian lantas menyusul.
"Katanya kamu sakit, izin saja tidak apa-apa. Daripada nanti tambah parah. Olahraga kali ini cukup menguras energi," papar Pak Bayu, laki-laki lajang itu memang selalu perhatian kepada muridnya. Hasya menggeleng lemah, "Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah baikan".
Juwita meludah ke sembarang arah, hingga mengenai sepatu baru milik Akmal. "Hehhh, anak baru. Buta apa gimana? Jorok amat, ngeludah itu di toilet bukan disini! Udah mah muka pas-pasan sok kecantikan lagi, pantes hobinya ngebully, takut kalah saing. Padahal yang dibully enggak pernah mau saingan," cibirnya. Akmal memang terkenal dengan kejujurannya. Ia juga sering melapor kepada pengawas jika saat ulangan ada murid yang membawa contekan atau bertukar jawaban.
Wajah gadis itu memerah, hendak marah namun ia tahan demi menjaga image-nya di hadapan Pak Bayu. Ingin sekali Hasya menampol wajah munafik itu, namun ia tak akan mempermalukan dirinya di depan umum hanya karena balas dendam. Meski melegakan, namun bukan berarti menguntungkan.