Sesuai perintah Zayn, selama sepekan Hasya mengikuti les privat yang diajari secara langsung oleh Giandra, sampai ulangan benar-benar tuntas, beruntungnya Hasya mendapat nilai yang cukup bisa membuat Zayn merasa bangga, meskipun bukan pujian yang ia dapat melainkan kritikan sebab masih belum bisa masuk ke dalam peringkat lima besar. Tidak masalah, baginya, ia tidak butuh apresiasi dari siapapun, meskipun Giandra secara terang-terangan memberikan hadiah berupa ikat rambut dengan bahan dasar kain tebal sekaligus mahal.
"Udah tau rambut aku pendek. Ngasih hadiah yang bermutu dikit kek," gerutunya, padahal Giandra masih berdiri di depannya yang tentu saja masih dapat mendengar ucapan dari gadis itu.
Belum ada kabar lagi dari pihak kepolisian, hanya bermodalkan kalung berinisial "J", itupun belum tentu kalung milik pelaku, bisa saja sang pemilik hanya dijebak. Hasya sempat mengetahuinya dari Sukamti-ibu Raina, Hasya yang tau siapa pemilik dari kalung itu pun seketika terhenyak, ia berusaha menyangkal pikiran-pikiran yang tidak seharusnya muncul. Ia tidak ingin persahabatannya dengan Ben runtuh hanya karena kesalah-pahaman. Ben juga belum mengambil tindakan apapun, ia masih bersikap biasa saja seolah belum sadar bahwa telah kehilangan benda berharganya.
***
Hujan lebat membuat Hasya malas pergi ke kantin. Ia hanya diam di kelas sembari memainkan ponsel, mencari bacaan-bacaan menarik di aplikasi yang menyediakan berbagai macam genre novel. Baru saja hendak membaca, Ben sudah duduk di sampingnya, mengisi bangku kosong yang sudah tak berpenghuni selama kurang lebih satu minggu. Kebetulan di sekolahnya tidak ada kegiatan class meeting, jadi satu minggu menuju liburan mereka hanya berangkat untuk mengisi absensi.
"Sya, ada yang mau aku omongin," ujarnya tiba-tiba. Gadis itu pun masih berusaha untuk tenang, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mendengarkan sampai akhir tanpa berniat menyela. "Ngomong aja Ben, kayak sama siapa. Jangan kaku gitu, biasanya juga sewot," Hasya mencoba untuk mencairkan suasana. Ben terdiam, dan memilih untuk menundukkan kepala, pemuda itu sepertinya bingung harus memulai darimana. Hasya menepuk pelan bahu Ben yang dilapisi dengan hoodie, "aku enggak bakal salah paham, apapun itu, kita selesaiin bareng-bareng," Ben mulai mengangkat wajah, bola matanya memerah, "nangis aja, kamu enggak bakal terlihat lemah hanya karena ketahuan menangis".
Seminggu lalu, di gedung terbengkalai yang dulunya adalah sebuah rumah sakit, Ben melihat Raina yang tengah berdiri dengan raut wajah kebingungan, saat pemuda itu hendak menyusul masuk, tiba-tiba saja seorang laki-laki bertopeng sudah lebih dulu mendahuluinya, membuatnya memilih untuk bersembunyi dibalik pintu yang jaraknya lumayan jauh, yang dimana itu adalah pintu bagian UGD. Ben mencengkram seragamnya erat saat melihat Raina jatuh tersungkur, apalagi laki-laki yang berhadapan dengan gadis itu sengaja membawa senjata tajam yang disembunyikan di balik badan. Raina rupanya menyadari kehadiran Ben, meskipun bodoh, ia tak mungkin sembarangan memanggil nama sahabatnya itu, bisa-bisa keduanya berada dalam masalah yang sama. Raina mencoba mengalihkan perhatian pelaku dengan mengajaknya bercerita, memberi waktu pada Ben agar bisa mencari cara untuk menyelamatkannya.
Namun, Ben yang pada dasarnya tidak sabaran, lebih memilih untuk menerobos masuk dengan hanya bermodalkan sebilah kayu ditangannya, yang tentu saja akan kalah jika diadu dengan pistol dan pisau dapur yang dibawa oleh pelaku.
"Ra! Lari!" teriaknya, seraya memukul punggung sang pelaku. Namun, yang namanya pembunuh bayaran sudah pasti instingnya lebih kuat jika dibandingkan dengan bocah ingusan yang bertindak seenaknya. "Bodoh!" maki Raina, ia benar-benar tak habis kesal dengan jalan pikiran Ben yang justeru malah mengambil risiko. Ben dengan kekuatan penuh mencoba melawan pelaku, namun belum apa-apa dirinya sudah mendapat satu bogeman tepet mengenai dagu, hingga membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah. Pemuda itu mencoba bertarung namun langkahnya sengaja berjalan mundur, Ben berpikir setelah dirinya berhasil membawa keluar sang pelaku, Raina dapat kabur melalui pintu manapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Novela Juvenil"Apapun keadaannya nanti, kamu harus tetap sembuh," aku menunduk lesu mendengar penuturannya. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan, Mas?" Ia bertanya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri...