8. Hiburan Dua Insan

140 127 2
                                    

Minggu ini dipenuhi dengan kesibukan, para pelajar sedang bergelud dengan satu lembar jawaban. Nilainya ditentukan oleh daya pikir otak, ada yang terlihat santai ada juga yang mengusak rambutnya berkali-kali, jelas sekali jika sedang frustasi setelah membaca soal-soalnya. Beruntung, Hasya, Raina, dan Ben selalu belajar bersama sepulang sekolah di perpustakaan. Ketiganya nampak begitu rajin, mereka saling berjanji untuk mendapatkan nilai yang memuaskan, paling tidak diatas KKM. Hasya menguatkan fisik dengan mengkonsumsi beberapa vitamin yang sengaja dibelikan oleh bundanya, Raina memilih libur jualan agar bisa lebih fokus untuk belajar, sedangkan Ben, lelaki itu tidak memiliki kesibukan lain selain belajar, jadi tidak ada yang berubah.

"Nanti selesai UTS, minggunya kita jalan-jalan yuk?" ajak Hasya pada Raina, "berdua doang?" Hasya mengangguk. "Ben gimana? Dia enggak diajak?" Hasya terdiam sejenak, nampak berpikir, "jangan dulu kali ya, mana tau dia enggak mau, kan laki-laki sendiri nanti jadinya," ujar Hasya. "Iya juga sih, ya udah, boleh deh. Mau kemana emang?" mata Raina berbinar, membuat Hasya kembali mengenang sosok gadis yang kini sudah bergelar almarhumah. "Sya...?" Raina menyadari lamunan Hasya, "emmm? Kemana aja, pokoknya main berdua, nanti aku kabarin kalo udah nemu tempatnya. Tenang, soal ongkos, ditanggung aku, itung-itung sebagai rasa terima kasih karena kamu udah sering bantu aku belajar," paparnya seraya mengulas senyum.

"Heh! Ngomongin apa kalian berdua?" Ben tiba-tiba saja muncul entah darimana, membuat kedua gadis itu tersentak. "Dateng-dateng ngucap salam kek, apa gimana, enggak main nongol aja, persis setan," kesal Hasya, jantungnya kini sudah berdegup kencang. Iya, Hasya memang mudah terkejut. "Ya lagian kalian berdua serius amat, sampai enggak nyadar kalo aku udah disini dari tadi," gerutu Ben. "Udah dari tadi? Berarti udah tau dong kalo kami ngomongin apa, enggak budeg kan?" sarkas Hasya. Dirinya memang selalu naik pitam jika berbincang dengan Ben. "Kenapa sih, sewot mulu bawaannya kalo ngomong sama aku," Ben gemas sekali dengan wajah cemberut milik Hasya, ingin mencubit, namun alangkah baiknya jika menahan diri.

"Kami berdua mau jalan-jalan, sebenernya mau ajak kamu. Tapi kayaknya kamu enggak bakal mau deh, soalnya laki-laki sendiri," Raina berniat menimpali. "Oh gitu, iya juga sih, mending di rumah tiduran, daripada keluyuran main ke luar," ujarnya seraya memasang wajah julid, tak lupa dengan tisu basah yang selalu setia menemani, "elap tuh mulut pake tisu, biasanya kalo habis ngapa-ngapain selalu di lap," sarkas Hasya. Ben hanya menatapnya jengah, ia tentu lebih memilih untuk mengalah.

"Hati-hati kalo mau jalan-jalan berdua," ucap Ben lembut, seraya mengelus pucuk kepala Raina, sekaligus menoyor kepala Hasya. Membuat kedua gadis itu melongo sebab diperlakukan seperti itu. setelahnya, Ben pergi menuju kantin. "Sya, bukannya baper, kok malah merinding ya," ujar Raina sembari mengelus tengkuk lehernya. "Makhluk halus emang suka bikin merinding, mungkin dia lagi pengin menunjukkan sisi laki-lakinya," terang Hasya. "Emang selama ini, Ben itu bukan laki-laki ya, Sya?" Hasya menghela nafas lelah, "bukan begitu sayangku, aku cuman bercanda. Kamu mah, enggak bisa bedain mana yang serius mana yang enggak," Raina hanya cengengesan saja.

***

Akhirnya anak-anak dapat bernafas lega, satu minggu penuh perjuangan telah usai, tinggal menunggul hasilnya saja.

Matahari melambai pelan, seolah mengucap salam ingin kembali ke tempat peraduannya. Semburat jingga menambah kesan hangat setelah hujan mengguyur hampir seluruh kota Surabaya. Hasya masih menyembunyikan diri dibalik selimut, suasana dingin membuat dirinya enggan beranjak dari ranjang. Membayangkan betapa senangnya hari esok, membuat matanya urung terpejam padahal sedari pulang sekolah ia sudah merebahkan diri. Mustika sudah memberi izin, Hasya sudah memutuskan akan mengunjungi expo di alun-alun kota Surabaya yang baru saja dibuka pekan lalu, ia berencana pergi tanpa pengawalan dari Pak Hamid.

Satu jam berlalu, dirinya tanpa sadar sudah tertidur lelap, saat dirinya keluar kamar, lampu sudah banyak yang dimatikan. Dengan langkah gontai, Hasya berjalan menuruni anak tangga, mengucek matanya berkali-kali, mengedarkan pandangan, "rumah seluas ini, namun penghuninya seolah tak ada sama sekali, hanya aku seorang diri," gumamnya. Ia membuka kulkas untuk mengambil air mineral, kemudian menenggaknya hingga tandas. Sejenak melamun, namun segera tersadar sebab ponselnya berbunyi.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang