Rumus-rumus fisika sudah bermain di kepalanya. Entah paham atau tidak, yang penting ia bisa mengikutinya sampai pelajaran berakhir. Raina, gadis yang katanya ingin belajar dengan giat supaya bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah nanti malah sudah tertidur pulas. Sepertinya gadis itu begitu kelelahan mengurus dagangannya yang semakin hari semakin laris. Segalanya ia usahakan agar mendapat penghasilan.
"Ra, bangun. Udah selesai. Mau ikut kantin enggak? atau mau aku beliin aja?" tawar Hasya, ia sebenarnya tak tega membangunkan Raina, namun ia juga tak mau sahabatnya tertinggal di dalam kelas sendirian sebab yang lainnya tengah berbondong-bondong menuju kantin.
Raina berusaha mengumpulkan separuh kesadarannya yang masih tertinggal di alam mimpi. Ia dengan malas memaksa dirinya untuk ikut ke kantin, bagaimanapun juga ia sudah sangat lapar.
"Sya... aku kok cape banget ya, padahal daritadi cuman tiduran di kelas, enggak ngapa-ngapain," keluh Raina, seraya menggandeng pergelangan tangan Hasya. "Mau aku anter ke UKS aja? atau gimana? kayaknya kamu emang lagi enggak enak badan deh," keduanya kini berhenti tepat di depan UKS. "Enggak deh, penyakit kalo dimanja justeru malah ngadi-ngadi," ujar Raina.
Ben sudah cengar-cengir sembari menyantap nasi goreng yang masih mengepul hangat. Ia melambai, memberi isyarat pada kedua gadis yang masih berdiri hendak menuju ke penjual ketoprak. Raina balas tersenyum, berbeda dengan Hasya yang justeru malah menatap dengan ogah-ogahan. "Ra, kamu kesana dulu aja, biar aku yang pesen," usul Hasya.
Hasya sudah siap dengan dua porsi ketoprak, tak lupa dengan air mineral miliknya dan es teh kesukaan Raina. Ben seketika menghentikan aktivitas makannya, ia meletakkan kedua tangannya pada dagu sembari tersenyum penuh arti. Hasya yang menyadari hal itupun sontak melirik tajam, membuat pemuda itu gugup. "Muka aku sama Raina kayak nasi goreng ya? nafsu banget liatinnya," sarkas Hasya. Ben terkesiap, seraya mengelus dada, "Astaghfirullah, ternyata kamu bisa punya pemikiran seperti itu ya?" Hasya menatap manik mata milik pemuda itu dengan lekat, "sekali lagi kamu natap kek gitu, aku keluarin kamu dari obrolan grup," ancamnya. "Duh, Tuan Putri jangan marah dong, entar pudar deh cantiknya. Ehhh, tapi enggak kok, kalo lagi marah malah tambah cantik," celoteh Ben. Pemuda itu memang sulit sekali diajak serius.
Aland tersenyum dari kejauhan. Memandang keindahan yang sudah lama sekali ia rindukan. Entah kapan terakhir kali dirinya menjalin hubungan. Sampai-sampai memutuskan untuk menutup hati dan fokus dengan pendidikan. Namun, justeru gadis yang selalu memakai aksesoris jepit biting itu mampu menarik perhatian. Membuat hatinya kembali tidak karuan. Pikirannya berkecamuk tak beraturan. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam obrolan. Setelah kepergian William, dirinya benar-benar sendirian. Tak ada yang ingin diajak untuk berteman, menjadi pendiam adalah sebuah pilihan.
"Ngobrolin apa nih, asyik banget, boleh gabung enggak?" ucap Aland basa-basi. Hasya tersenyum canggung, sebab Aland tanpa permisi langsung menarik kursi yang semula ada di samping Ben lalu meletakannya tepat di samping dirinya, membuat keduanya kini duduk bersebelahan. "Kak Aland, tumben kak, sendirian?" tanya Raina dengan polosnya. "Dia kan emang selalu sendirian," seloroh Ben, membuat jemari Aland mengepal erat. Hening beberapa saat, tentu saja membuat siapapun merasa tidak betah dengan suasana seperti ini.
"Kok pada diem, aku ganggu ya?" Aland hendak beranjak pergi, sebab merasa kehadirannya mengganggu. Hasya buru-buru menyergah, "enggak Kak, kita tadi kebetulan lagi bahas buat acara malem minggu besok," ujarnya seraya mengulas senyum. Ia tak ingin membuat kecewa pada orang yang telah menyelamatkan hidupnya. "Emang ada apa malem minggu besok?" sepertinya Aland sudah mulai tertarik dengan arah pembicaraan. "Mau bakar-bakar," tukas Ben yang langsung membuat kening Aland mengkerut, "iya, bakar rumah, noh, di samping sekolah kan ada rumah bekas pembantaian, banyak hantunya juga, jadi kita mau bantu buat bakar besok," papar Ben, tentu setiap kalimatnya adalah sebuah kebohongan. "Loh, bakar gedung terbengkalai jadinya? berarti enggak jadi bakar-bakar daging dirumah Hasya dong, apa itu namanya, barbeque-an?" keluh Raina. Ben menggaruk tengkuknya, Hasya berdehem untuk mencairkan suasana, sedangkan Aland, ia mendadak merasa seperti orang yang sedang dibodohi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Teen Fiction"Apapun keadaannya nanti, kamu harus tetap sembuh," aku menunduk lesu mendengar penuturannya. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan, Mas?" Ia bertanya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri...