2. Menjelajah Kenangan

189 146 12
                                    

Saat makan malam berlangsung, Zayn yang biasanya selalu tersenyum bangga melihat istrinya sebab sudah berada dirumah lebih dulu, kali ini hanya menampilkan seringaian tipis sembari mengangkat bahu acuh, bola mata yang biasanya selalu nampak bening seketika kehilangan kejernihannya akibat terlapisi oleh warna merah, bukan darah, melainkan sisa-sisa air mata yang belum sempat ia seka namun sudah lebih dulu mengering.

"Ayah pulang cepat hari ini, sini, makan bareng," ajak Mustika, tentu ia paham dengan kondisi suaminya, namun ia juga tak mungkin membiarkan putrinya makan di meja sendirian hanya demi menenangkan sang suami. Wanita yang selalu nampak cantik itu lantas berjalan pelan sembari mengulas senyum, segera ia raih tubuh Zayn kemudian menyandarkan kepala sang pujaan hati pada sebelah pundaknya.

"Ayah..." cicit Hasya, mencoba untuk memecah keheningan. "Kalau lagi makan itu diam, jangan sambil bicara. Ada apa? Kalau memang ada hal penting yang mau dibicarakan sama Ayah, besok saja, Ayah capek," ketus Zayn.

"Falah ada telfon kamu enggak? Dari tadi Ayah coba hubungin tapi nomornya enggak aktif terus," belum sempat Hasya menjawab, sudah lebih dulu disela oleh Zayn, "pokoknya kalau Falah ngasih kabar ke kamu, langsung bilang sama Ayah, takutnya dia butuh apa-apa disana, kasihan, jauh dari keluarga, enggak punya siapa-siapa selain orang tua," celoteh Zayn. Hasya tersenyum miris, hatinya mencelos.

***

Hasya membuka lembar demi lembar sebuah buku dengan sampul berwarna silver, buku yang sudah usang itu telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama tiga tahun terakhir. Ada beberapa peristiwa penting yang sengaja Hasya abadikan menjadi sebuah paragraf. Matanya tertarik untuk mengulas kembali setiap kalimat yang ada di lembar ke-sepuluh.

10 Maret 2017

Tubuhku sakit, ada darah yang mengalir deras melalui lubang hidung. Memar di pergelangan tangan sengaja kusembunyikan. Selama satu minggu, aku harus memakai jaket demi tidak mengundang pertanyaan sekaligus menarik perhatian dari banyak orang. Tidak ada yang menolongku, mereka justru menjadikanku sebagai bahan permainan. Sebegitu rendah kah diriku? Bahkan binatang pun tak selalu diperlakukan dengan buruk.

Tetes demi tetes air mata mulai membasahi wajah mulus milik gadis yang baru saja menutup buku hariannya. Perasaan campur aduk kembali singgah, tak pernah terlewat barang semalam pun. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan sesuatu yang paling tidak ia sukai. Berkelahi dengan pikiran sendiri sudah menjadi makanan sehari-harinya. Untuk itu, sebelum tidur ia selalu melakukan ritual, yakni menangis.

8 Maret 2017

Kala itu, hujan begitu deras mengguyur kota Surabaya, aku yang sedang menunggu Pak Hamid di pos satpam pun tiba-tiba ditarik oleh segerombolan anak, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka membawaku, tidak! Lebih tepatnya menyeretku menuju gedung belakang sekolah yang sudah terbengkalai. Aku, dengan kaki terseok terpaksa harus menyelaraskan langkah agar sejajar dengan mereka, paling tidak berjarak hanya beberapa inci saja.

"Tutup matanya! Buruan!" perintah salah seorang gadis, entah siapa, karena aku belum begitu mengenalnya. Dua diantaranya ada yang memegangi kedua tanganku, satu lagi ada yang menutup mataku menggunakan kaos kaki yang kutebak bekas dipakai oleh orang yang telapak kakinya pecah-pecah atau mungkin terkena kutu air. Perutku serasa diaduk-aduk, apalagi aku belum sempat makan siang, hanya menyarap sebelum berangkat sekolah.

Ayah... Bunda... kalian dimana? Hasya takut..." batinku kala itu. Jangankan merengek, membuka mulut saja aku tidak berani. Firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang lebih mengerikan nantinya. Mereka mengikatku pada kursi yang bahkan sudah mengeluarkan bunyi kret... tanda kursi tersebut akan segera patah. Aku hanya menangis, tanpa berniat untuk melawan, semakin aku berontak semakin tersiksa.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang