Senja terlihat menyapa, ketika matahari hendak kembali ke peraduannya. Anak-anak berlari kesana-kemari sembari memakan aromanis yang dijual di pinggir jalan. Melihat tawa mereka cukup membuat Hasya terhibur, mengingat bagaimana paniknya dia saat melihat Nawam mengeluarkan banyak darah dari hidungnya.
Kini Nawam sedang mengurut hidungnya menggunakan es batu. Kebetulan tadi Hasya sempat melihat penjual es keliling yang tengah mendorong gerobaknya, saat hendak menyeberang Hasya buru-buru menghentikannya guna membeli es batu yang masih utuh.
"Masih pegel mas? Sakit banget pasti ya?" Raut wajah Hasya masih menyiratkan kekhawatiran. Bagaimana tidak, darah yang keluar jika ditadahkan dengan gelas mungkin bisa satu gelas full.
Nawam tersenyum, seraya mengusap peluh yang membasahi kening Hasya. "Udah nggak sakit kok. Coba dicubit hidung mas, kalau masih nggak percaya," titah Nawam.
"Nggak ihh, nanti kalau darahnya muncrat lagi gimana? Terus kalau tambah banyak keluarnya, dan mas tiba-tiba pingsan, Hasya harus gimana? Pokoknya ya mas, Hasya nggak mau lagi liat mas mimisan kayak tadi!" Tandasnya.
Nawam terkekeh. "Iya sayangku, mas akan pastikan kalau mas nggak bakal mimisan lagi," jawaban dari Nawam ternyata mampu membuat Hasya sedikit lega.
"Pulang aja yuk mas, udah sore juga. Mas perlu istirahat," sanggah Hasya.
Mereka pulang bergandengan tangan dengan sebelah tangan Nawam yang masih memegang es batu. Tidak bisa membayangkan betapa dinginnya setelah beberapa menit berlangsung.
***
Satu Minggu berlalu, Hasya perlahan sudah mulai bisa beradaptasi dengan obatnya. Dia mulai menemukan titik terang, sedikit demi sedikit sudah bisa menata kegiatan sehari-harinya kembali.
Hasya bahkan sempat membuat jadwal untuk dirinya sendiri, berisi kegiatannya dari bangun hingga tidur kembali.
Ia juga sudah mulai terjun ke dapur untuk sekadar membantu bundanya memasak, walaupun hanya memotong-motong bawang, yang ujung-ujungnya membuatnya menangis, karena bawangnya jahat. Bawang merah.
"Selama ditinggal ayah sama bunda, kamu ngapain aja di rumah?" Tanya Mariah yang sedang mengaduk sup di dalam panci.
"Ya ngapain aja lah bun, pokoknya Hasya ngelakuin kegiatan yang bisa bikin Hasya happy," ujar Hasya, tangannya beralih mengambil wajan untuk menggoreng tempe.
"Syukur deh, ehh Nawam gimana kabarnya? Ajakin kesini gih, kita makan bareng nanti malem," wajah Hasya tersipu saat mendengar nama lelaki yang dipujanya selama ini disebut oleh bundanya. Padahal ini bukan yang pertama kali.
"Emmm, baik bun. Tapi kemarin-kemarin waktu Hasya jalan-jalan sama Mas Awa, tiba-tiba aja dia mimisan, padahal awalnya baik-baik aja," jelas Hasya, langsung teringat dengan kejadian satu Minggu yang lalu.
"Masa sih? Kecapekan kali, makanya kamu jangan minta jalan-jalan terus sama Nawam. Kasihan, barangkali dia punya kerjaan walaupun kuliahnya lagi cuti," tutur Mariah seraya membolak-balikkan tempe yang katanya tadi hendak digoreng oleh Hasya, namun tidak jadi karena sudah larut dalam percakapan.
"Hasya nggak pernah minta kok bun. Mas Awa yang nawarin diri terus. Tapi ya bun, dari yang Hasya liat, Mas Awa itu nggak punya pekerjaan lain selain kuliah. Pengangguran Bun," paparnya.
"Hushhh, nggak boleh ngomong gitu. Kamu ini ya, makanya telusuri lebih dalam, barangkali nanti Nawam bisa jadi menantu bunda," ledek Mariah.
"Bunda ihhh...," Hasya lantas berlari menuju kamar seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bahkan ia sampai menabrak Falah yang sedang berjalan menuju meja makan sembari memainkan ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Roman pour AdolescentsSedang dalam tahap revisi, jadi mohon maaf sebab banyak kalimat atau bahkan kata yang mendadak tidak nyambung, harap maklum 😉🫶🙏