Nawam mengantar Hasya sampai gerbang, tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih sebab sudah berkenan mengantar sekaligus ikut makan bersama. Danastri dengan tergesa-gesa lari menuju Hasya yang hendak masuk mobil. Rupanya, ia sempat membungkus beberapa kue kering yang baru dibuatnya kemarin, karena kebetulan masih tersisa banyak, jadi ia berniat memberikannya pada Hasya.
"Ibu ada kue kering, meski dibuat kemarin sore, tapi masih enak, Nduk. Namanya lidah kucing," Danastri berharap Hasya mau menerima pemberian itu.
"Dengan senang hati, Bu," ia tersenyum simpul, kemudian reflek memeluk Danastri. Sedangkan Nawam hanya melongo melihat peristiwa itu. Baru saja kenal, namun sudah main peluk saja. Untung sesama perempuan.
Sampai rumah, Hasya sudah disambut dengan Falah yang tengah menunggunya pulang. Pemuda itu sedikit khawatir sebab adiknya belum kunjung pulang, padahal hampir menjelang malam. Barulah setelah melihat wujud utuh sang adik, ia bisa bernafas lega. Kekhawatirannya tentu bukan tanpa alasan, ia kembali teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu yang menimpa sang adik. Ia takut peristiwa itu kembali terulang. Ia takut, jika adiknya harus selalu hidup dalam ketakutan.
"Ngapain Kak?" tanya Hasya seraya melepas sepatu. Tak lupa dengan tote bag berisi kue lidah kucing yang ia genggam erat di tangan kirinya.
"Apaan tuh?" Falah lebih tertarik dengan apa yang Hasya bawa daripada menjawab pertanyaan barusan.
"Bukan apa-apa, ini barang yang baru saja aku beli, khusus untuk perempuan. Laki-laki enggak boleh tau," bohongnya. Ia sengaja mengatakan itu sebab takut akan dirampas jika tau itu adalah makanan.
Hasya melengang masuk, tujuannya tak lain adalah langsung ke kamarnya sendiri, mengunci pintu agar tak seorang pun bisa masuk sesuka hati. Memang, semenjak dirinya mengalami hari yang nahas, bundanya dan sang kakak sering masuk kamar tanpa mengetuk pintu lebih dulu, membuat penghuni kamar merasa tidak nyaman. Ingin protes takut berujung dengan perdebatan. Entah mengapa setelah mengunjungi rumah Nawam yang penuh dengan rasa kekeluargaan, kemudian kembali ke rumahnya sendiri justeru membuatnya sedih, hampa, dan kesepian dalam waktu yang bersamaan.
Hasya ingin rumah yang sederhana namun terasa hidup, darapada rumah bak istana namun selalu redup. Hasya melempar tas selempangnya ke sembarang arah, sedangkan tote bag yang berisi kue lidah kucing ia letakan di atas meja khusus untuk meletakkan camilan dengan penuh hati-hati. Seolah itu barang yang sangat berharga, meskipun memang berharga, sebab makanan.
ia membuka laci nakasnya. Mengambil satu buah tiket yang jika dihitung masih enam hari menuju hari pertunjukan, rasanya sudah tak sabar, waktu bergulir begitu lama, membuat dirinya bosan jika tidak ada kegiatan apapun yang mampu membuat waktu berjalan dengan cepat.
"Lupa! Kalau sekarang film itu udah rilis, streaming ahhh, mumpung lagi senggang," segera Hasya mengambil laptope yang selalu disimpan di lemari baju, entah apa tujuannya, aneh memang, padahal sudah disediakan rak khusus untuk menyimpan barang-barang pribadinya.
Entah sudah keberapa lembar tisu yang digunakannya hanya untuk mengusap ingus. Air matanya justeru ia seka menggunakan punggung tangannya sendiri. Kebetulan film yang sedang ditontonnya saat ini bergenre psikologi. Mengangkat sebuah kisah seorang wanita yang dirawat di rumah sakit jiwa sebab mengidap depresi akibat ditinggalkan oleh kekasihnya dengan dalih sibuk mengurusi pekerjaan. Padahal, sang kekasih merasa malu sebab menjalin hubungan dengan wanita yang dianggapnya gila. Disisi lain, wanita tersebut dulunya juga sering mendapat perlakuan tidak senonoh dari pamannya sendiri. Menganggap tubuhnya sudah tak berharga sekaligus memandang sekitar dengan penuh curiga, membuatnya takut jika didampingi oleh perawat laki-laki, padahal tujuannya hanya untuk berjalan-jalan di sekitar halaman sebagai penghilang kejenuhan. Ia selalu memberontak dan berteriak, merapalkan kalimat-kalimat berupa permintaan tolong, membuat perawat wanita harus selalu siap siaga berada disisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Ficção Adolescente"Apapun keadaannya nanti, kamu harus tetap sembuh," aku menunduk lesu mendengar penuturannya. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan, Mas?" Ia bertanya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri...