Satu bulan berlalu. Sudah ketiga kalinya Hasya melakukan kontrol tanpa didampingi oleh Nawam. Kondisinya pun semakin memburuk setelah tidak menerima kabar apapun dari sang pujaan hati.
Nawam yang katanya akan selalu menemani, seolah hilang ditelan bumi. Bahkan nomor ponselnya pun sudah tidak aktif. Tidak ada lagi pertanyaan serupa di setiap hari. Tidak ada lagi omelan serta ocehan ketika Hasya susah untuk mengkonsumsi obat.
Peluangnya untuk bersama kini semakin sulit. Apalagi setelah perpisahan tanpa sepenggal kalimat apapun.
Sirine ambulance sudah menjadi hal biasa untuk didengarkan ketika ada jadwal kunjungan ke rumah sakit. Pun dengan tangisan serta rintihan dari beberapa pasien yang meminta untuk segera ditangani.
Hasya dengan gugup setia menunggu kedatangan sang dokter. Pandangannya selalu mengarah ke arah jarum jam, satu jam berlalu, namun dokter Arjuna belum kunjung datang. Biasanya, jika ada waktu luang ia akan mengobrol tentang banyak hal dengan Alden, namun berbeda dengan kali ini, apalagi dengan kondisi Alden yang semakin membaik, jadi untuk jadwal kunjungan sudah tak sama lagi dengan Hasya. Alden sudah mulai satu bulan sekali, sedangkan Hasya masih dua minggu sekali.
Tiba di tempat. Kami saling berhadapan. Raut wajah yang kulihat tadi, sungguh berbeda sekali dengan yang sekarang.Saat hendak meraih ponsel di dalam tas, atensinya beralih pada sosok yang sedari tadi ditunggunya. Hasya dengan tenang menunggu nomor antriannya dipanggil.
Sekarang gilirannya, jantungnya kembali berdegup kencang.
"Apa kabar Mbak Hasya? Bagaimana harinya? Apakah ada yang mau disampaikan? Atau ada keluhan baru, mungkin?" Tanpa basa-basi, dokter Arjuna langsung menanyakan perihal keadaannya.
Hasya menceritakan secara detail tentang keadaannya selama dua Minggu terakhir ini. Meski ada sedikit perubahan, tentu rasa cemas masih saja menghantui keberadaan, perasaan, dan pola pikir Hasya.
"Mbak Hasya, saya ganti obatnya ya? Saya juga akan kasih obat racikan khusus," ucap dokter Arjuna menyudahi sesi konsultasi. Selama Hasya bercerita, beliau hanya manggut-manggut saja.
***
Pukul 5 sore, Hasya baru keluar dari rumah sakit. Tepat saat hendak menelfon Pak Hamid, Hasya dikejutkan dengan suara laki-laki yang selama ini begitu ia rindukan.
"Apa kabar?" Ujarnya dari arah belakang.
Air mata kerinduan begitu tertera. Tangisan yang hendak keluar, ditahan matian-matian. Puncak amarah seketika luruh tatkala melihat senyum pada wajah teduhnya.
"Mas Awa?" Suaranya tercekat. Masih belum percaya dengan apa yang ada dihadapannya saat ini. Ia takut, jika sebenarnya dirinya hanya sedang berhalusinasi saja.
"Apa kabar sayangnya mas?" Sapa laki-laki itu kembali.
Kalimat itu, akhirnya Hasya bisa mendengarnya kembali dari mulut sang pujaan hati. Jadi, ini benar-benar nyata.
"Mas kemana aja?" Tanya Hasya yang sudah tak kuasa menahan tangis.
"Mas nggak kemana-mana, mas selalu ada di samping kamu. Mas nggak pernah ada niatan untuk pergi ninggalin kamu."
"Buktinya apa? Satu bulan lebih mas ninggalin Hasya," masih dengan isakan yang terdengar pilu.
"Mas cuman pindah tempat tinggal aja, bukan pindah ke lain hati," tegas Nawam. Iya, laki-laki yang saat ini tengah berhadapan dengan Hasya adalah Nawam. Sosok yang selalu dinanti-nantikan kehadirannya oleh Hasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Teen FictionSedang dalam tahap revisi, jadi mohon maaf sebab banyak kalimat atau bahkan kata yang mendadak tidak nyambung, harap maklum 😉🫶🙏