Rumah yang dibangun di tengah pekarangan berukuran kecil sudah penuh dengan sekumpulan manusia. Suara tangis memenuhi sebuah bangunan berbahan dasar kayu. Di depan sudah tertancap satu buah bendera berwarna putih, melambai, seolah memberi sambutan kepada siapapun yang melayat sembari menunggu jenazah siap disemayamkan. Seorang gadis tengah duduk bersandar pada pohon rambutan tanpa alas kaki. Air matanya enggan berhenti, tatapannya kosong, berulang kali merapalkan kata maaf yang entah ditujukan untuk siapa. Dengan kondisi tubuh yang lemah, ia mencoba untuk berdiri, berjalan terseok, mendekat pada sosok pemuda yang baru saja tiba setelah membantu warga mengambil keranda.
"Ben," suaranya begitu lirih hampir tak terdengar. "Anter aku pulang. Tampar aku, bangunin aku pake cara apapun, aku tau kalau ini semua hanya mimpi" pintanya seraya menggenggam lengan baju milik pemuda itu. "Sya... Kalo mau pulang, ayok aku anterin," Ben dengan lembut membujuk Hasya, ia tahu jika Hasya masih belum bisa menerima fakta yang baru saja terjadi. Hasya mengangguk, ia tak peduli dengan penampilannya saat ini, gegas ia masuk ke dalam rumah yang sudah dipenuhi oleh para pelayat. Tentu saja ia menjadi pusat perhatian, matanya tertuju pada sosok yang sudah terbaring dengan balutan kain warna putih.
"Nduk, ini jongkong ketan untuk kamu. Raina yang bikin sendiri tadi pagi, sepertinya ia lupa membawanya ke sekolah," ucap Sukamti, seraya membuka kantung kresek yang berisi makanan buatan mendiang putrinya. Hasya menerimanya, kemudian membawanya keluar, ada sepuluh biji yang jika dinominalkan seharga sepuluh ribu rupiah, ia mengambil satu, memakannya, dengan air mata yang semakin berderai.
Proses pemakaman berlangsung sebagaimana mestinya. Tidak ada raungan atau apapun yang mengganggu proses pemakaman tersebut. Mereka, khususnya keluarga, berusaha untuk menerima dengan lapang dada. Polisi masih mengusut kasus kematian tersebut, mereka tentu ingin menegakkan keadilan untuk korban. Memang terdapat satu buah kejanggalan saat proses penyelidikan berlangsung. Salah satu petugas menemukan satu buah liontin berinisial "J" yang kala itu pernah Hasya temukan, kemudian sehari setelahnya diminta kembali oleh sang pemilik. Mereka menduga bahwa itu adalah kasus bunuh diri, sebab Raina ditemukan dengan kondisi sudah tak bernyawa di semak-semak belukar dengan darah yang mengalir hingga menciptakan bau amis yang mampu mengaduk-aduk isi perut. Kemungkinan besar Raina menjatuhkan diri dari gedung lantai dua dengan menerobos melalui jendela, sebab polisi menemukan beberapa pecahan beling di sekitar mayat. Namun, itu masih praduga, sebab belum cukup bukti sekaligus belum ada orang yang bisa dijadikan sebagai saksi. Kejadiannya begitu cepat, apalagi dengan kondisi tempat yang jauh dari pemukiman warga.
Seorang pria paruh baya yang kala itu baru saja selesai mengambil rumput untuk pakan ternak secara tak sengaja melihat mayat Raina dengan posisi tengkurap. Yang paling membuatnya terkejut adalah ada banyak darah yang mengalir dari area perut, seperti bekas di tikam. Antara dibunuh atau bunuh diri, salah satu diantaranya entah yang mana yang benar, atau justeru malah keduanya.
***
"Mbak Hasya... Ya Allah, Mbak kenapa?" Pak Hamid yang semula tengah menyesap kopinya langsung berdiri setelah melihat putri dari majikannya itu turun dari taksi dengan kondisi yang tidak terduga. Pria paruh baya itu lantas menoleh pada Ben yang memang sengaja mengantarkan Hasya sampai rumah, matanya menatap lekat seolah meminta penjelasan, "saya ceritakan di dalam saja, Pak," Pak Hamid dibuat bimbang, sebab kebetulan Zayn dan Mustika sedang berada di rumah, keduanya sedang berbincang dengan seorang pemuda yang sempat ingin dijadikan sebagai guru les privat untuk Hasya. "Tapi Tuan sama Nyonya lagi di rumah, Mas. Takutnya nanti beliau marah kalo tau anak perempuannya dianter sama laki-laki," Pak Hamid mengutarakan kegelisahannya, mereka kini masih duduk di pos satpam. Pak Juan selaku penjaga di rumah tersebut juga ikut membantu. Mereka tengah berdiskusi tentang bagaimana caranya agar bisa membawa Hasya masuk tanpa sepengetahuan orang rumah, apalagi dengan kondisi Hasya yang kini justeru malah pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulih
Fiksi Remaja"Apapun keadaannya nanti, kamu harus tetap sembuh," aku menunduk lesu mendengar penuturannya. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan, Mas?" Ia bertanya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian memberanikan diri...