3. Sepasang Jepit Biting

167 134 13
                                    

Pantulan sinar matahari mampu menembus kedua pasang netra, hingga membuat gadis yang masih memejamkan mata itu enggan sekali beranjak dari ranjang. Namun, ia tak ingin terlambat saat tiba di sekolah nanti. Gegas dirinya mengambil handuk kemudian untuk kemudian mandi.

Perutnya tiba-tiba sakit, ia lupa, kalau terakhir kali makan adalah saat masih di sekolah kemarin, itupun hanya makan siomay. Tak mau ambil pusing sebab memanjakan penyakit lawasnya, ia buru-buru mencari kotak P3K yang biasanya selalu ada di rak dapur. Beruntung masih tersisa satu tablet promagh, semoga saja belum kadaluwarsa. Kalau sedang seperti ini, Hasya malas sekali jika harus sarapan dengan nasi, mulutnya reflek terkuci rapat jika akan dimasuki oleh makanan bertekstur kasar.

"Pak, nanti mampir di pertigaan depan lampu merah ya, Hasya mau beli bubur kacang ijo," pintanya pada Pak Hamid. "Belum sarapan toh Mbak?" tanya lelaki paruh baya itu, sebab tadi dirinya sempat melihat beberapa menu yang sudah tersaji di atas meja. "Hasya lagi pengin makan bubur aja, Pak," kilahnya. "Magh-nya kambuh toh?" tebak Pak Hamid. "Hemmm," gumamnya seraya mengangguk.

Hasya buru-buru memakan bubur kacang hijau itu di dalam mobil. Lumayan, bisa membantu sedikit meredakan nyeri perutnya.

"Kalau ada apa-apa, nanti telfon saya saja, Mbak," titah Pak Hamid, "enggak Pak, tenang aja. Hasya udah baikan kok."

Berhubung baru memakai sunscreen, Hasya berniat untuk ke kamar mandi lebih dulu sebelum masuk kelas untuk memberikan sedikit polesan pada wajah agar tidak terlihat pucat. Ia tidak ingin menunjukkan sisi rapuhnya pada lingkungan sekitar. Belum selesai, ia mengobrak-abrik isi tas-nya guna mencari sesuatu yang sudah melekat dengan dirinya selama menginjakkan kaki di SMA ini.

"Cari ini ya?" ujar suara pemuda yang langsung membuat Hasya reflek menoleh ke samping, pasalnya, ini toilet perempuan, mengapa ada sesosok pemuda yang sudah berdiri di ambang pintu. Matanya terkunci pada sepasang jepit biting miliknya yang saat ini berada pada genggaman pemuda itu yang justeru semakin mengikis jarak. Hasya mematung sembari memejamkan mata erat, waspada kalau-kalau pemuda itu melakukan hal yang tidak senonoh.

Rupanya, dugaan Hasya salah, pemuda itu hanya memasangkan jepit biting pada rambut sebelah kirinya, "gadis cantik, tumbuhlah menjadi wanita dewasa tanpa dendam," Hasya mematung cukup lama.

"Udah sana masuk kelas, jangan keasyikan di kamar mandi. Kamu cantik, meski tanpa riasan apapun," ujar Aland. "Oh iya, enggak perlu ada perkenalan, kamu pasti udah tau nama aku, aku tau kok, dari tatapan kamu yang sedari tadi mengarah terus kesini," paparnya seraya menunjuk name tag milik dirinya yang sedikit memudar. Maklum sudah dua tahun dirinya bersekolah disini.

"Nanti aku traktir kamu sepulang sekolah, di kafe tempat biasa aku nongkrong," bisik Hasya tepat ditelinga Raina yang tengah sibuk meladeni pembeli. Ia berjualan di depan kelas, bahkan tak segan-segan membawa serta meja dan kursi kosong yang tidak terpakai. Raina mengacungkan jempol tanda setuju. Hasya terkekeh sembari menepuk pelan bahu Raina, lantas menyelonong masuk.

***

Sandwich dan kentang goreng masing-masing dua porsi, brownies, red velvet, matcha latte, jus alpukat, dan puding. Pesanan sudah tersaji diatas meja. Kedua anak gadis itu langsung menyantap sembari bercerita seputar sekolah. Ini pertama kalinya Raina masuk ke kafe, berulang kali ia berdecak kagum melihat tata letak dan properti yang terlihat begitu estetik.

Untungnya letak kafe dengan sekolah tidak cukup jauh, membuat keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja. Selesai makan, Hasya berencana untuk langsung pulang, sedangkan Raina memilih untuk kembali ke sekolah, tepatnya ingin ke perpustakaan, ia hendak meminjam novel sebagai pengisi waktu luangnya di rumah.

Handphone Hasya berdering, rupanya ada panggilan masuk dari Pak Hamid, tidak biasanya lelaki berusia lima puluh tahun itu menelfonnya, kecuali dalam keadaan mendesak.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang