9. Raina dengan Banyak Alasan

121 110 1
                                    

Matahari begitu terik, membuat Hasya reflek menyipitkan mata tatkala dirinya tak sengaja mendongak. Ia melirik sekitar, yang dicari tak kunjung tiba, tanpa memberi kabar lebih dulu membuat Hasya panik, karena biasanya gadis itu akan datang lebih awal darinya, duduk di teras sembari melambai pelan. Atau paling tidak, ia akan mengirim pesan yang berisikan sebuah alasan. Namun, tidak dengan kali ini. Ponselnya sepi, bahkan Ben yang biasanya selalu usil di grup pun mendadak diam.

"Pasti nyari Raina kan? dia enggak berangkat sekolah hari ini," Ben lantas mengambil satu buah amplop lantas menyodorkannya pada Hasya, "nih suratnya, mau masuk kan? sekalian bawa," titahnya. "Kok bisa ada di kamu sih? aneh," gerutunya. jujur Hasya curiga. "Emang kenapa? kita kan berteman, jarak rumah Raina sama aku lebih deket kalo dibandingkan sama kamu," papar Ben. Hasya lantas menerima surat itu lantas masuk kelas tanpa menghiraukan Ben yang masih ingin berbincang dengannya.

Hasya tak bisa hanya tinggal diam, ia merasa janggal. Ada yang sengaja Raina sembunyikan darinya. Ia memohon pada Ben untuk menunjukkan dimana letak rumah sahabatnya ini, namun, justeru Ben selalu mengalihkan topik pembicaraan. Ini sudah kedua harinya Raina tidak masuk sekolah. Kemarin Hasya sempat melihat isi surat yang tertulis di dalamnya, "acara keluarga? lagi? ayahnya kembali masuk rumah sakit?" batin Hasya saat membacanya. Tidak mungkin, keadaan ayah Raina jelas-jelas sudah membaik, ia tentu akan mengungkitnya jika ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya lagi.

Hasya mengusap wajahnya dengan gusar. Kini dirinya tengah berada di kantin tempat dimana ia dan Raina biasa menghabiskan makanan. Duduk di pojokan menghindar dari kerumunan adalah sebuah pilihan. Ia menengok ke sebelah kiri "siomay Bandung", Raina tersenyum kecut, mengingat bagaimana sahabatnya itu rela mengantre demi mendapa makanan favoritnya.

"Sendirian aja? temen kamu yang bawel itu kemana?" Hanya menoleh. "Kak Aland rupanya..." respon Hasya lesu. "Kenapa? kamu ngiranya Ben ya?" ujar Aland tersenyum kecut. "Enggak kok, ngapain nungguin laki-laki modelan kek gitu disini, Kakak sendiri ngapain kesini, biasanya juga beli makan terus dibawa ke kelas," papar Hasya, rupanya ia sedikit memperhatikan gerak-gerik dari pemuda itu.

"Bosen. Pengin lah sekali-kali makan disini. Boleh gabung kan?" Hasya mengangguk. Ia hendak makan, namun terhenti sebab melihat Aland yang tengah memisahkan sayur sawi yang sudah menyatu dengan mie ayam pesanannya. Kening Hasya mengkerut, "kok dipisah?" Tanya-nya penasaran. "Enggak terlalu suka," begitu Aland hendak membuangnya, Hasya langsung mencengkram hoodie yang melapisi seragam bagian atas pemuda itu. "Ehhh, jangan dibuang kak, buat aku aja sini, tukeran sama ketupat," usul Hasya. "Hah? mie ayam pake ketupat?" gadis itu mengangguk antusias, "enak tauk, coba aja kalo enggak percaya. Sini aku potongin," Hasya lantas mengambil mangkuk milik Aland, ia dengan telaten memotong ketupatnya dengan rapi. Aland dibuat takjub. "Udah, selesai. Hasya mengembalikan mangkuk tersebut kepada sang empu. "Terus sawinya gimana? tanya Aland, "ya enggak gimana-gimana, biar aku yang makan. Aland melongo, "sate pake sawi?" Hasya mengacungkan dua ibu jarinya. "Mending dibuang aja deh, itu bekas aku loh," gadis itu menggeleng, "aku suka sawi, enggak papa Kak, santai aja. Sate sama sawi, sama-sama berawalan huruf "S", guraunya.

Tanpa keduanya ketahui, ada sepasang mata yang tak sengaja melihat interaksi mereka. Posisinya masih berdiri sebab tak kebagian kursi, ingin bergabung dengan mereka, namun lebih mengutamakan gengsi.

"Ehhh, itu susunya bocor!" peringat salah seorang siswi pada laki-laki yang tanpa sadar sudah membiarkan susu kedelainya mengalir begitu saja, membasahi lantai yang semula kering. "Hey! kalo ngomong dijaga ya! aku enggak punya susu!" Ben tidak terima ditegur seperti itu, apalagi di depan umum. Susu? bocor? baru setelah pundaknya ditepuk oleh penjual kantin, ia terkesiap, "itu Mas, susunya kok dibiarin ngalir gitu aja, mubadzir. Kalo enggal suka, mending enggak usah dibeli," Ben ingat, bahwa sebelumnya ia sudah meminumnya setengah, namun belum sempat habis, ia sudah lebih dulu melihat dua sejoli yang sedang asyik mengobrol di tempat yang biasanya digunakan olehnya, Raina, dan juga Hasya. "Aland sialan!" gerutunya, lantas ia berlalu mengambil kain pel untuk membersihkan ulahnya.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang