11. Senja Penanda Kehilangan

107 100 7
                                    

Ulangan Akhir Semester tinggal menunggu hari, para siswa maupun siswi diperuntukkan untuk lebih giat dalam belajar, tak terkecuali Hasya yang sudah dipesankan guru les privat supaya dirinya bisa menghabiskan harinya untuk belajar. Rencananya untuk belajar bersama Ben dan Raina diperpustakaan pupus. Zayn memang terkadang suka mengekang putrinya, meskipun demi kebaikan, namun, bagi Hasya yang mempunyai jiwa bebas, mendapat perhatian penuh seperti itu justeru membuat dirinya merasa tak nyaman.

Waktu sudah menujukkan pukul enam, dan Hasya masih duduk di tepi ranjang seraya memandang lukisan yang berada tepat di depannya. Pendekar wanita, dengan pedang di tangan kiri, dan tangan kanan yang mengemudikan kuda dengan kaki yang terangkat satu. "Bisa berkelana dengan bebas, adalah sebuah impian, tapi kalo tiba-tiba aku berpenampilan seperti itu dan berkeliaran, apalagi di zaman sekarang, pasti langsung deh dirujuk ke psikiater," gerutunya seraya memoncongkan bibir.

Ia mengotak-atik ponselnya, mencari sesuatu dari sumber yang menurutnya valid, "reinkarnasi" sungguh, masih pagi, namun otaknya sudah konslet. "Aku muslim, kira-kira kalo mengungkit hal-hal seperti itu, menentang ajaran agama enggak ya? Hahhh, tapi kan aku cuman sekedar penasaran, enggak percaya. Toh, biasanya yang kayak gitu cuman muncul di film-film doang," ujarnya meyakinkan diri. Padahal ingin mencari tahu lebih lanjut. Namun ia tak mau bergelud dengan waktu. Bisa-bisa ia harus ikut membantu Pak Jalu memotong rumput di di halaman sekolah.

Dengan langkah gontai ia berjalan mengambil handuk di balkon, lantas masuk ke kamar mandi. Tak perlu berlama-lama, dirinya bukan seorang Tuan Putri yang apa-apa harus dilayani, terlihat rapi dan berseri. Hendak menuju lantai bawah, rupanya sang Ayah sedang ada tamu, mungkin rekan kerjanya, namun terlihat masih muda. Langkah kaki yang sudah ia buat sepelan mungkin, ternyata mampu mengalihkan atensi dua lelaki yang sedang sibuk berbincang seputar rumah sakit.

Hasya mengangguk canggung seolah memberi sapaan pada pemuda itu, ujung bibirnya terasa kaku hanya untuk sekadar mengulas senyum.

"Itu putri saya. Hasya namanya. Bodoh anaknya, makanya saya nyuruh kamu untuk jadi guru les-nya," Zayn berbicara santai pada pemuda itu, Hasya tak tau harus bereaksi seperti apa, karena bagaimanapun yang dikatakan oleh sang ayah memang benar adanya. "Mulai sekarang, kamu belajar privat darinya, Giandra Paraduta, rekan kerja sekaligus teman ayah, dia bukan hanya pintar di bidang akademik, namun di bidang kedokteran jiwa. Dia baru saja lulus dari universitas ternama, jadi, mulai sekarang, kamu harus nurut sama dia. Jangan keseringan main sama teman kamu yang enggak jelas itu," intonasi bicaranya begitu mendominasi.

"Yang mana maksud Ayah? Temen Hasya jelas semua. Mereka manusia," ia tentu tidak terima mendengar perkataan sang ayah. "Terserah kamu mau bilang apa, yang jelas, mulai sekarang sepulang sekolah harus langsung ke rumah, enggak boleh ngumpul apalagi main sama mereka lagi. Kamu sadar enggak sih, kamu itu banyak kurangnya, apalagi semenjak bergaul sama mereka, kekurangan kamu semakin banyak, semakin mencolok," lagi-lagi, Hasya hanya mampu mendengar, ia tak berani melawan, sebab sudah pasti akan di cap sebagai anak durhaka oleh Zayn.

Hasya tak ingin mendengar kalimat yang membuat batinnya tersiksa lagi. Tanpa berpamitan apalagi sarapan, ia langsung pergi dengan menenteng satu buah sweater dan menggeret tas-nya. Ia bahkan tak segan membanting pintu secara terang-terangan, entah mengapa, jika ada yang mengungkit atau mengatakan sesuatu tentang sahabatnya, ia sama sekali tidak terima. Hasya memilih untuk menunggu angkutan umum di halte yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari rumah. Ia tak mempedulikan pandangan sekitar, apapun yang ada di depannya ia injak, bahkan ranjau sekalipun, membuat dirinya membuang sepatu dan memilih untuk nyeker ke sekolah.

Sayangnya, ia sampai di sekolah melebihi batas waktu, dirinya harus menjalani hukuman, yakni membantu Pak Jalu memotong rumput, lebih tepatnya mengumpulkan daun-daun kering yang berjatuhan. Kakinya berulangkali tergores batu yang ujungnya lancip, membuat dirinya tanpa sadar meringis sebab perih dan sakit yang dirasakan.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang