PROLOG

490 195 87
                                    

Sakit seperti apa yang disembunyikan dariku, Mas? Luka batinmu, apakah memang nyata? Bagaimana mungkin kamu sanggup memendam semuanya sendirian? Padahal perang antara akal dan batinmu amat sangat melukai. Aku masih belum percaya dengan kabar tentang kematiannya. Wajahnya bahkan masih jelas tergambar di kedua bola mataku. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, adalah obat bagi kesakitanku. Dia membantuku melewati masa-masa penuh kesulitan. Menjadi penenang, ketika diri ini seringkali berucap ingin mati. Dia membawaku pergi, menjauh dari nestapa yang memeluk bahkan hampir membuatku terbunuh.

Aku ingat ketika dia dengan penuh usaha membujukku agar mau berobat. "Sya, Hasya berobat ya? Mas temenin kok, janji. Katanya Hasya pengin sembuh, pengin nikmatin hidup dengan kondisi yang baik-baik aja. Mau ya?" Pintanya dengan tatapan penuh memohon. Air mataku terus saja mengalir meratapi ketiadaannya. Mengingat bagaimana baiknya dia padaku, dulu.

Ku pegang foto dengan bingkai berukuran kecil yang terpampang jelas bahwa itu adalah fotonya ketika sedang bermain di tepi pantai. Celana hitam pendek selutut, kaos putih oblong, tatanan rambut yang bagus, serta senyum mengembang penuh bahagia tergambar jelas di raut wajahnya. Galen Arnawama. Ia cukup akrab dengan panggilan Nawam. Pemuda tinggi dengan hidung mbangir serta kulit sawo matangnya cukup membuat mata yang memandang langsung terpikat seketika.

***

Danastri, Ibu Nawam, masih setia menunggui nisan yang bertuliskan nama anaknya itu. Hasya dengan ditemani oleh Juwita dipapah untuk berjalan menuju ke tempat Danastri berada.

Danastri melihat Hasya, hingga tangisnya pecah kembali. Dia berdiri, kemudian memeluk Hasya erat. Karena keadaan mereka berdua sama-sama lemah akibat menangis hampir setengah hari, akhirnya mereka pun jatuh tersungkur ke tanah, di samping makam Nawam.

Kalau saja kala itu hujan tidak turun, mungkin mereka berdua masih tetap setia menunggui makam Nawam, barangkali dia bangun dari tidur panjangnya ini. Mustahil bukan?

***

Hasya tidak langsung pulang ke rumah. Hasya mampir lebih dulu ke rumah Nawam. Menemani Danastri yang sedari tadi terus saja menangis. Kasihan, Setahu Hasya, Nawam adalah anak tunggal. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Danastri punya selama ini. Suaminya meninggal, ketika Nawam masih berumur delapan tahun. Hasya duduk di sebelah Danastri yang tengah bersandar pada kepala ranjang.

"Ibu, makan dulu ya? Nanti Ibu bisa sakit kalo ndak makan," ucapnya lirih, sambil menahan sekuat tenaga agar air matanya tak kembali jatuh.

"Nduk, Ibu kepengin Nawam ada disini. Ibu kepengin Nawam temenin ibu. Ibu ndak mau sendirian, Ibu takut kesepian," Danastri berkata sambil menangis sesenggukan. Hasya meletakkan mangkuk yang berisi bubur ke atas nakas samping tempat tidur. Kemudian digenggamlah jemari milik wanita paruh baya itu. Tangis keduanya pecah, bersamaan dengan hujan yang semakin deras mengguyur gelapnya malam.

***

Hasya pulang ke rumah dengan diantar oleh Juwita. Seluruh tubuhnya lemas tak berdaya. Tenaganya hilang entah dimakan apa. Di rumah, sudah ada ayah, bunda, dan sang kakak. Mereka menatapnya penuh iba. Dapat dilihat, bunda tengah mengusap air matanya dengan tergesa-gesa, kemudian menghampiri dan langsung memeluknya. Hasya menangis dalam pelukan. Rasanya hancur sekali, seperti mimpi buruk di siang hari. Hasya tak sanggup lagi untuk berkata, hanya air mata yang mampu mewakilinya.

Tiga jam lamanya Hasya terbaring di atas ranjang, dengan menyisakan bekas air mata yang sempat mengalir. Ternyata dalam tidur pun Hasya masih menangisinya. Berharap ada keajaiban datang, meminta untuk menghidupkan kembali kekasih yang sudah tak bernyawa. Dengan sisa-sisa tenaga, Hasya berusaha duduk agar bisa bersandar pada kepala ranjang. Mencari posisi ternyaman, dan menghembuskan nafas secara perlahan. Hasya menoleh ke arah samping, sudah ada bunda yang tersenyum simpul. Hasya membalas senyuman itu, membuatnya kembali tersadar bahwa ia baru saja menghadiri pemakaman dari orang terkasih. Wajah yang sudah mengering pun, kini harus basah karena kembali dihiasi oleh bulir-bulir bening penanda kehilangan. Isakan tangis kembali terdengar, menyisakan kehampaan pada raga yang terkulai lemah.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang