BAB 1: Kehilangan

63 5 1
                                    

"Kehilangan seseorang yang paling kita sayangi itu menyakitkan... seakan dunia ini runtuh dan diriku masuk dalam kegelapan yang suram"

- Kavaya Priciliani

----------

JAKARTA, 19 JUNI 2009

RUMAH SAKIT DHARMAIS

Angin sore membawa aroma khas rumah sakit, dingin dan sedikit menyesakkan. Terlihat seorang gadis kecil berusia 8 tahun berdiri diam di ambang pintu kamar rawat ibunya. Di depan matanya, sosok yang selama ini menjadi dunianya terbaring lemah. Rambut ibunya yang dulu tebal dan indah kini mulai rontok dan sudah tidak ada, kulitnya tampak pucat, dan di matanya hanya tersisa sedikit sinar kehidupan.

Sudah berbulan-bulan sejak ibunya divonis menderita kanker otak. Segalanya berubah begitu cepat. Ibunya yang dulu selalu terlihat kuat dan penuh tawa, sekarang terbaring dengan tubuh lemah di ranjang rumah sakit dari hari ke hari.

Kavaya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya yang semakin kurus itu. Gadis tersebut, terlihat sangat sedih dan muram. Melihat mata ibunya sudah tak secerah dulu, tapi senyuman lembut masih menghiasi wajahnya, membuat hatinya sangat sakit. Itu adalah hal terakhir yang bisa diberikan ibunya untuk putri semata wayangnya, meski di balik senyum itu, Kavaya tahu, rasa sakit yang dirasakan ibunya jauh lebih dalam daripada yang terlihat.

"Ma, yang kuat, ya? kuat kan, Ma?" suara Kavaya terdengar gemetar, meski dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar di hadapan ibunya. 

"Mama bakal sembuh, kan?"

Ibunya hanya tersenyum tipis, memaksakan untuk tidak menangis. Mereka sudah terlalu sering membicarakan tentang keajaiban selama berbulan-bulan lamanya yang mungkin bisa menyelamatkan hidupnya, tapi mereka tahu, waktu yang tersisa tidaklah banyak.

"Maafkan Mama, sayang," suara ibunya pelan, hampir seperti bisikan.

"Mama nggak bisa menemani kamu lebih lama lagi... sayangku, Vaya.. anakku.. tercinta"

Air mata yang sejak tadi ditahan Kavaya akhirnya jatuh. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara isakan, tapi sakit di dadanya terlalu besar untuk ditahan.

"Jangan bilang begitu, Ma," isak Kavaya. 

"Mama harus ada di sini. Mama pasti bisa. Aku... aku sangat butuh, Mama. Aku nggak bisa hidup tanpa Mama. Mama orang yang aku paling sayang."

Ibunya memandang Kavaya dengan penuh kasih sayang, meski kesedihan di matanya tak bisa disembunyikan. 

"Putri kecilku, Vaya.. Kamu anak yang kuat. Mama tahu kamu bisa. Kamu masih punya papah. Jangan takut untuk menghadapi semuanya, ya sayang?"

"Tapi, Ma...." isak Kavaya.

Sebelum Kavaya melanjutkan bicaranya, Ibunya langsung menutup bibirnya dengan tangan yang kurus namun lembut itu, sambil berkata dengan lemah dan sayu.

"Mamah, capek Vaya... Mamah mau tidur... Tidur di samping Mamah ya, sayang" pintanya lesu.

Kayava menggangguk setuju dan langsung memeluk Ibunya dengan sangat kuat. Bukan hanya memeluk tapi menggenggam tangan ibunya dengan sangat erat. Dia tak pernah membayangkan hari di mana dia harus hidup tanpa ibunya, meskipun kenyataan sudah ada di depan mata.

Ayah Kavaya yang berada di samping ranjang, hanya bisa menggenggam tangan istrinya dengan erat. Tangannya yang bergetar itu terlihat mencoba untuk kuat, meski air mata yang menggenang di sudut matanya tak mampu lagi disembunyikan olehnya.

Tidak lama, dua hari kemudian, ibunya berpulang.

Kavaya berdiri di depan makam, tidak ada ekspresi yang ditunjukkan bahkan tangisan pun tidak keluar dari matanya. Udara dingin menusuk kulitnya meski matahari mencoba mengintip di balik awan untuk menyengat kulit putihnya itu. Rasa hampa memenuhi seluruh tubuhnya. Dia merasa sangat kehilangan, bukan hanya hilang akan sosok ibu, tetapi juga bagian dari dirinya sendiri. Disaat itu bagi Kavaya, kehidupannya tak akan pernah sama lagi kedepannya tanpa sosok paling sempurna di kehidupannya itu karena Tuhan telah membawanya pergi jauh.

--------

1 TAHUN KEMUDIAN....

JAKARTA, 11 JULI 2010

RUMAH KAVAYA

Kavaya sudah mulai belajar menerima kenyataan bahwa ibunya tak akan kembali. Karena selama 1 tahun terakhir dirinya terlihat sangat murung dan kekosongan sangat terlihat di hatinya. Namun ketika suasana hati Kavaya mulai membaik, ada satu hal besar lagi yang kemudian membuat dirinya menjadi semakin bergejolak.

Sabtu sore, saat sedang duduk berdua di ruang tamu, ayah Kavaya mulai membicarakan sesuatu yang membuat hatinya merasa sesak.

"Papa mau ngomong sesuatu, Vaya," kata ayahnya.

Mata ayahnya terlihat ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.

Kavaya menatap ayahnya dengan penuh perhatian, meski di dalam hatinya ada rasa tak nyaman yang muncul. 

"Ada apa, Pa?"

Melihat jawaban putrinya, ayahnya menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian.

"Papa... sudah lama berpikir soal ini, Vay. Papa tahu ini mungkin akan berat buat kamu, tapi... ini juga sesuatu yang membuat Papa dan kamu bisa kembali bahagia. Jadi sebenarnya... Papa sudah bertemu seseorang, Vaya."

Jantung Kavira berdetak lebih cepat. Dia tahu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya, tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatnya terkejut.

"Papah mau menikah lagi?"

Ayahnya mengangguk pelan, ekspresi wajahnya menunjukkan campuran antara rasa bersalah dan juga harapan. 

"Dia orang yang baik dan mamah kamu juga kenal dengannya" ucap ayah Kavaya sambil menatap dan memegang tanganya.

"Namanya Tante Mira. Papa nggak mau kamu merasa tersisih, Vaya. Kamu tetap yang utama dalam hidup Papa, kamu anak kesayangan Papa.. tapi... Papa juga butuh seseorang untuk berbagi semuanya. Papa butuh seseorang yang bisa jaga kamu dan papa. Dan untuk mama kamu... dia akan selalu jadi orang yang Papah cintai selamanya... tapi Papa nggak bisa selamanya sendiri, Vaya. Papaph nggak bisa melihat kamu seperti ini terus."

Kavaya menunduk, melepaskan genggaman tangan dari ayahnya. Lalu dia memainkan ujung baju kaosnya dengan jari, mencoba mencerna kata-kata ayahnya. Ada rasa marah, kesedihan, tapi juga sedikit rasa lega karena tahu ayahnya tidak akan sendirian lagi. 

"Berarti ini maksudnya... dia akan jadi mama baru Vaya, Pah?"

Ayahnya tersenyum lemah.

"Ya, tapi dia nggak akan pernah menggantikan posisi Mama. Papa janji sama kamu, Vaya. Mama tetap akan selalu ada di rumah ini, di keluarga ini, di hati kamu dan juga Papah. Kamu tahu itu, kan?"

Kavaya mengangguk, meski di hatinya dia merasa belum siap untuk menerima kenyataan ini. 

"Apa dia masih muda, pah? Atau dia sudah punya anak?"

Ayahnya tampak canggung sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. 

"Dia tidak tua tapi tidak muda juga, sayang. Dia pernah menikah tapi suaminya meninggal karena kecelakaan. Karena dia sebelumnya menikah... jadi dia punya anak, Vaya. Anaknya laki-laki, namanya Felix."

Sambil menghela nafas yang panjang dan melihat langsung mata putrinya itu.

"Umurnya nggak jauh beda sama kamu, Vaya. Papa yakin kamu pasti bakal suka sama dia dan sayang sama dia sebagai adik kecil kamu. Kamu nggak akan sendirian lagi dan kamu bisa bermain sama dia nanti, Vaya."

Kavaya hanya terdiam dan tidak lama dia mengangguk. 

Apa yang harus aku lakukan? Papa terlihat sangat senang tapi aku juga sedih karena Mama belum lama pergi dan sudah ada yang mau mengisi lagi tempatnya. Tapi aku gak mau melihat papah murung seperti sebelumnya, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? batin Kavaya.

~ Next....

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang