BAB 27: Pertunangan

5 3 0
                                    

"Cinta itu indah. Cinta juga menyakitkan. Terkadang Cinta pun bisa membutakan segalanya dan membuat orang yang mengalami itu menjadi sangat egois. Itu yang aku rasakan sekarang, Vaya. Aku egois, karena aku mencintaimu. Aku tahu kamu tidak mencintaiku.. tapi karena cinta yang dalam ini. Aku mau kamu hanya jadi milikku, Vaya. Hanya untukku!"

- Gavin Permadi Arsenio

--------

1 BULAN KEMUDIAN....

JAKARTA, 15 JUNI 2024

Acara pertunangan Kavaya dan Gavin pun terjadi. Pertunangan dilakukan di sebuah gedung kecil dan hanya keluarga terdekat yang diundang untuk hadir. Suasana ruangan terasa nyaman, dihiasi bunga-bunga mawar putih dan merah muda.

Kavaya mengenakan gaun berwarna ivory, anggun dan sederhana, sedangkan Gavin memakai setelan jas yang rapi. Mereka berdua terlihat serasi, duduk di meja depan, dikelilingi senyum hangat dari keluarga.

Setelah sambutan dari kedua keluarga, acara inti pun dimulai. Gavin dan Kavaya saling berdiri di tengah ruangan. Mata mereka bertemu, seolah mencoba memahami pikiran satu sama lain. Gavin kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin pertunangan.

"Kavaya, aku berjanji akan selalu ada untukmu, mendukungmu, dan bersama-sama membangun masa depan yang kita inginkan," ucap Gavin dengan suara lembut.

Dia menyematkan cincin itu di jari manis Kavaya, dan tepuk tangan riuh mengisi ruangan. Kavaya tersenyum, meskipun dalam hatinya ada perasaan campur aduk yang sulit dia jelaskan. Dia menerima cincin itu, dan kemudian mengucapkan janjinya untuk mendampingi Gavin.

Setelah pertukaran cincin, Gavin berbisik kepada Kavaya, "Aku akan menyiapkan semuanya setelah kamu selesai wisuda. Acara pernikahan kita pasti akan sempurna, Vaya, aku janji."

Kavaya hanya tersenyum, mengangguk pelan tanpa kata-kata. Makan malam kemudian dimulai, dan suara obrolan serta tawa mengisi ruangan kecil itu. Semua orang tampak bahagia, kecuali Kavaya yang hatinya penuh keraguan.

Saat acara hampir selesai, Kavaya merasa perlu menarik napas dan menenangkan diri sejenak. Dia pergi ke ruang make-up yang terletak di ujung gedung. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah lain mengikutinya dari belakang. Kavaya berbalik cepat, matanya sedikit membelalak, dan melihat Nana berdiri di sana dengan senyuman jahil di wajahnya.

"Astaga! Lo bikin gue kaget aja, Na!" Kavaya menepuk dadanya, merasa sedikit lega.

"Ya.. sorry. Gue kira lo butuh teman," sahut Nana santai sambil mendekat.

"Lagian kenapa lo jalan kesini sendirian?"

Kavaya tidak menjawab, dia menarik napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang masih kaget. Kavaya langsung lanjjt jalan ke ruang make up.

Nana mengikuti Kavaya, dia juga masuk ke dalam ruang make-up, duduk di kursi, dan memperhatikan Kavaya yang berdiri di depan cermin. Dia bisa melihat ada ketegangan di wajah sahabatnya. Setelah beberapa saat hening, Nana akhirnya berbicara.

"Vaya, lo sudah kasih tahu Felix soal ini semua?"

Kavaya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, "Belum..."

Nana memandangnya dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa? Bukannya ini penting? Kenapa lo nggak kasih tahu dia?"

Kavaya berbalik, memandang Nana, "Gue nggak mau ganggu dia. Pendidikan militernya berat, dan gue nggak mau hal ini jadi penganggu buat dia raih mimpinya."

Suaranya terdengar tegas, tapi ada kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.

Nana menggelengkan kepala pelan, "Tapi, Vaya, kalau Fekix tahu nanti, dia bisa marah besar. Lo tahu sendiri gimana Felix kalau dia marah."

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang