BAB 5: Kepastian?

19 4 0
                                    

"Gak peduli bagaimana pun hubungan kita saat ini, kamu itu milikku kak! Aku akan selalu menjaga kamu termasuk dari laki-laki brengsek di luar sana!"

- Felix Nicolas Purnama

-----------

Felix tidak bisa tidur, dia terus-terusan mengingat kejadian ketika Kavaya mencium keningnya itu. Itu sangat mengganggu dirinya. Dia memilih untuk duduk di tepi tempat tidurnya sambil menengkan pikirannya.

Tak berselang lama, ingatan tentang perkelahiannya dengan Ardi muncul kembali dan tidak bisa keluar dari pikirannya. Dia mulai merasa menyesal karena harus berkelahi di depan Kavaya, tapi dibalik itu, ada perasaan senang karena berhasil menjaga Kavaya dari laki-laki seperti Ardi.

Dia mengakui bahwa dirinya dipicu rasa cemburu ketika ada laki-laki yang mencoba mendekati Kavaya. Tapi apakah itu wajar? Apakah seharusnya dia boleh merasakan perasaan seperti itu terhadap kakak angkatnya sendiri?

Dengan rasa frustrasi, Felix menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk, terutama saat dia juga mengingat reaksi Kavaya yang tampaknya tidak menyadari maksud sebenarnya dari perkataannya. Itu membuatnya semakin bingung. Dia tidak bisa berhenti bertanya-tanya apakah ada cara untuk mengubah hubungan mereka menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar saudara.

Karena sudah pusing dengan pikiran yang ada, dia memilih untuk pergi ke ruang makan. Makanan menjadi bagian penting dalam kehidupannya untuk menenangkan diri.

Tapi saat dia menuju ke ruang makan, dia sangat terkejut bahwa Mira, mamanya itu masih belum tidur dan sedang berada di dapur.

"Mah, kenapa belum tidur?"

"Mama lapar, sayang." jawab Mira sambil memegang apel yang telah dikupas di tangan itu.

Melihat ibunya belum tidur tersebut, Felix memberanikan diri untuk berbicara tentang yang dia rasakan kepada Mira. Dia tahu, ini mungkin bukan topik yang biasa dibicarakan, tapi dia tidak tahu lagi kemana harus mencari jawaban.

"Mah, aku mau ngomong sesuatu," ucapnya dengan nada pelan.

"Kita bicarakan di ruang tamu aja ya, sayang. Ayo.. Mama sambil bawakan kvmu juga apel ya?" jawab Mira. Mendengar itu, Felix langsung menjawab Mira dengan cepat dan singkat.

"Ya, ayo, Ma. Aku bantuin bawa."

---------

Di ruang tamu, Felix langsung dusuk di samping ibunya yang sedang mengupas apel untuk anaknya tersebut.

"Ma," panggil Felix dengan ragu.

Mira menoleh dan tersenyum lembut.

"Ada apa, sayang? Kok mukanya serius banget, sih?"

Felix menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Aku... aku mau nanya sesuatu, Ma. Tapi mama jangan marah ya, Ma?"

Ibunya tertawa kecil, meletakkan pisau dari tangannya ke atas meja.

"Ngapain harus marah, sayang. Mama nggak marah kok. Kamu jarang-jarang banget ya nanya serius kayak gini. Emang ada apa sih?"

Felix menunduk, bermain-main dengan jemarinya, berusaha menyusun pertanyaan di kepalanya.

"Ma... kira-kira, kalau dua orang yang nggak sedarah... bisa nggak sih mereka... mereka jadi lebih dari sekadar saudara?"

Ibunya menatap Felix dengan mata penuh perhatian, meski sedikit bingung. "Maksud kamu, seperti apa? Siapa yang kamu maksud, Lix?"

Felix merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia tahu pertanyaannya akan menimbulkan kebingungan, tapi dia harus tahu.

"Kita ambil contoh... contoh kayak aku sama Kak Vaya. Kami itu nggak sedarah kan, Ma? Kalau suatu hari aku... aku merasa ada perasaan yang lain terhadap kak Vaya, bisa nggak Ma?"

Ibunya tersentak sedikit, ekspresinya berubah serius.

"Felix, jujur sama mama. Yang kamu bicarakan ini soal kamu sama Vaya kan? Bukan orang lain."

Felix mengangguk, menahan napas, menunggu respon ibunya. Ada kecemasan yang menguasai dirinya, takut mendengar penolakan atau sesuatu yang lebih buruk.

Mira menatap Felix sangat lama tanpa sepatah kata apapun, seolah sedang mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh anaknya.

"Felix, Vaya itu memang bukan saudara kandungmu, tapi kalian kan sudah tumbuh besar bersama. Meskipun tidak dari bayi tapi dari kamu kecil di usia 7 tahun sampai sebesar ini, kamu kan selalu bersama Vaya. Kamu selalu memandangnya sebagai kakak, kan? Dan Vaya, dia pasti melihatmu sebagai adiknya. Mama yakin, yang kamu rasakan saat ini pasti karena kamu sudah terlalu dekat dengan Vaya sejak kecil, sayang."

Felix menggigit bibirnya, merasa bingung dengan dirinya sendiri.

"Aku nggak tahu, Ma. Rasanya... aku jadi cemburu setiap ada yang mendekati kak Vaya. Aku ngerasa nggak tenang kalau ada cowok lain yang suka sama dia. Ini benar-benar perasaan yang sangat aneh banget, Ma."

Ibunya menghela nafas panjang.

"Felix, kadang perasaan seperti ini bisa muncul karena kamu merasa terikat, tapi bukan berarti itu rasa suka atau cinta seperti laki-laki dan perempuan. Mama yakin, itu Itu cuma bentuk rasa sayang kamu sama kak Vaya yang sangat dalam. Jadi kamu gak perlu bingung, sayang."

Perasaan ragu dalam diri Felix mulai membesar dan menguat di hatinya.

"Tapi, Ma, kalau aku terus merasa seperti ini sampai aku dewasa... aku harus apa?"

Mira menepuk bahu Felix dengan lembut.

"Kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Tapi yang paling penting, jangan sampai perasaan yang kamu rasain itu merusak hubungan baik kamu dengan Vaya. Kalau kamu bener-bener merasa lebih dari sekadar saudara, kamu harus hati-hati, sayang. Mama pikir.. jika sampai itu terjadi, kamu harus bisa membuang perasaan itu jauh-jauh. Jangan sampai ini malah membuat segalanya menjadi sulit bagi kita semua, sayang. Paham kan maksud mama?."

Felix menunduk dan mengangguk. Dia merasa beban di dadanya makin berat. Dia tahu ibunya benar. Dia harus berhati-hati. Tapi perasaan itu sudah terlanjur tumbuh, yang membuat dia bingung setiap hari dengan apa yang harus dia lakukan dengan perasaannya tersebut.

Setelah obrolan singkat itu, mereka kembali ke kamarnya masing-masing. Di kamar, Felix benar-benar bingung dengan dirinya. Dia merasa semakin tertekan dari sebelumnya. Apalagi ibunya tidak bisa memberikan jawaban yang jelas kepadanya.

Aku gak tahu gimana. Tapi yang jelas, aku harus bisa mengontrol perasaan ini. Aku akan menjaga kak Vaya. Aku akan menjaganya sampai kapanpun, batin Felix.

~ Next....

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang