Ada sedikit scene yang berunsur dewasa 18+, diharapkan baca dengan bijak ya!
---------
"Salahkah jika aku mencintaimu, Vaya? Salahkah kalau aku tidak akan melihatmu lagi sebagai adik kecilku.. tapi sebagai seorang wanita yang aku cintai? Beritahu aku.. apa yang harus lakukan dengan perasaan ini?"
- Gavin Permadi Arsenio
--------
Gavin mengantar Kavaya sampai ke rumahnya. Udara dingin menyelimuti suasana, dan langit Jakarta yang biasanya penuh polusi dan sekarang tampak sedikit lebih cerah dengan beberapa bintang yang berkerlipan. Ketika mobil Gavin berhenti di depan pagar rumah Kavaya, keduanya masih terdiam sejenak di dalam mobil. Kavaya akhirnya membuka sabuk pengamannya, lalu berbalik dan menatap Gavin dengan senyum manisnya yang selalu membuat Gavin merasa dadanya bergetar.
"Ka, mau masuk dulu nggak? Sekalian ketemu sama ayah dan Mama Mira. Nggak enak kalau cuma nganterin sampai sini aja," ujar Kavaya dengan nada lembut, matanya berbinar dengan harapan.
Gavin menelan ludah, mengalihkan pandangannya sejenak untuk menyembunyikan perasaan gugup yang bergejolak di dalam dadanya.
"Ah, nggak perlu, Vaya. Aku... aku masih ada banyak tugas yang harus diselesaikan. Banyak paper mahasiswa yang harus aku cek," balas Gavin, mencoba terdengar santai, meski ada nada gugup yang tak bisa dia sembunyikan.
Kavaya tersenyum kecil, sedikit kecewa tapi mencoba mengerti.
"Oh, yaudah deh, kak.. kalau memang banyak kerjaan. Kapan-kapan mampir aja kak kalau ada waktu, ya. "
Gavin hanya mengangguk singkat.
"Iya, pasti. Kapan-kapan, deh."
Setelah itu, dia berpamitan dan menatap Kavaya yang melambaikan tangan padanya sebelum berbalik masuk ke dalam rumah. Namun, saat menatap punggung Kavaya yang menjauh, hati Gavin terasa semakin berat.
Begitu Kavaya hilang dari pandangannya, Gavin segera melajukan mobilnya menuju apartemennya di daerah Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak henti-henti berputar tentang Kavaya. Dia mencoba mengalihkan fokusnya ke jalanan yang sepi, tapi bayangan senyum Kavaya, caranya berbicara, dan tatapan mata yang seolah penuh kepercayaan padanya terus menghantui pikirannya.
Setelah beberapa belas menit, Gavin akhirnya tiba di apartemen mewahnya. Bangunan tinggi dengan desain modern itu berdiri megah. Gavin memarkir mobilnya di basement, lalu naik menggunakan lift ke lantai atas. Sesampainya Gavin di unitnya, dia memasukkan kode keamanan dan membuka pintu yang langsung menghadap ke ruang tamu minimalis dengan jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan gemerlap kota.
Begitu masuk, Gavin menutup pintu di belakangnya, lalu menghela napas panjang. Tapi pikiran tentang Kavaya masih menari-nari dalam kepalanya seperti tidak mau pergi. Dia meremas rambutnya sendiri, mencoba menenangkan diri.
"Kenapa ini, kenapa aku merasa seperti ini? Ayolah, Gavin... Vaya itu adik kecil kamu, kamu janji akan jadi kakak besar yang baik untuknya..." gumamnya pada diri sendiri, menepuk-nepuk dadanya yang berdebar kencang.
Dia berharap kata-kata itu bisa meredakan perasaan yang membara di hatinya. Namun, saat Gavin melangkah ke kamar mandi untuk mandi, rasa gelisah itu malah semakin menguasainya. Dia membuka shower dan membiarkan air mengalir deras, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Tiba-tiba bayangan Kavaya muncul dalam pikirannya, seolah berdiri di depannya sambil tersenyum lembut.
Gavin tersentak.
"Ini bener-bener gila..." ucapnya dengan lirih dan menampar wajahnya sendiri, berharap rasa sakit bisa mengusir bayangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU, VAYA!
Novela JuvenilBagaimana rasanya kalau ternyata orang-orang yang dekat denganku, memiliki perasaan terhadapku? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya agar tidak menyakiti salah satu dari perasaan mereka? Tapi apakah perasaanku juga sama? Namun, tiba-tiba se...