BAB 31: Bersalah

8 3 0
                                    

"Aku bodoh. Aku menghancurkan segalanya. Aku yang bersalah terhadap keadaan ini. Maafkan aku.. maaf karena tidak bisa membuat keputusan yang tepat untuk kalian bahkan.. untuk diriku sendiri"

- Kavaya Priciliani

---------

Saat ini Gavin dan Kavaya sedang berada di dalam mobil. Mereka menenagkan diri atas kejadian yang baru saja terjadi. Kavaya duduk di kursi depan dengan perasaan yang campur aduk. Melihat Gavin yang terluka di wajahnya, Kavaya langsung mengambil kotak P3K yang ada di mobil Gavin. Dia menatap Gavin dengan ekspresi lembut namun penuh luka.

Tanpa banyak bicara, Kavaya mengeluarkan kapas dan antiseptik dari kotak itu, dan mulai membersihkan luka di pipi serta bibir Gavin dengan hati-hati. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya, dan perasaan bersalah yang mulai merambati hatinya. Luka di wajah Gavin dan bibirnya yang berdarah membuatnya merasa sesak.

"Maafin Felix, Kak..." ucap Kavaya lirih, suaranya hampir bergetar, seraya menekan kapas ke luka Gavin dengan lembut.

"Aku bener-bener minta maaf atas namanya.. aku ggak nyangka dia bisa sampai begini… semua ini karena aku, kak."

Gavin meraih tangan Kavaya yang sedang membersihkan lukanya, menghentikan gerakan itu dengan tatapan dalam yang terarah langsung padanya. Kavaya pun menundukkan pandangannya, tak berani menatap mata Gavin.

“Ini bukan salah kamu, Vaya. Jadi kamu nggak usah ngerasa bersalah seperti itu," ucap Gavin dengan nada yang berusaha menenangkan Kavaya.

"Ini cuma luka kecil aja kok,” Gavin berbisik dengan suara jelas, namun terlihat bahwa dia merasakan sakit, tak hanya fisik tapi juga emosional.

Dia tahu bahwa Kavaya merasa bertanggung jawab atas semua ini, namun dia tak ingin menambah beban di pundaknya.

Mendengar ucapan Gavin, Kavaya merasa semakin bersalah. Matanya tertunduk, merasa tidak layak menatap wajah Gavin yang terluka. Rasa bersalahnya semakin membesar, bukan hanya pada Gavin yang terluka tapi juga pada Felix. Dia tidak ingin menyakiti siapa pun dari mereka, namun situasi ini justru membuatnya terjebak di antara dua perasaan yang sulit dia kendalikan. Kavaya tahu bahwa ketidakmampuannya dalam membuat keputusan membuat dirinya merasa ada duri yang menancap dan melukai hatinya sendiri.

Karena aku… kamu sama Felix jadi seperti ini, kak. Aku nggak pengen kalian sampai bertengkar, gumam Kavaya dalam hati.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Gavin mengangkat dagu Kavaya dengan sentuhan lembut, membuat mata mereka bertemu. Tatapannya yang hangat dan penuh pengertian hampir membuat Kavaya menitikkan air mata.

“Aku baik-baik aja, Vaya... jadi, jangan nangis, ya.”

Gavin tersenyum lembut, berusaha menenangkan Kavaya meskipun dia tahu air mata yang menggantung di mata gadis itu bukan hanya karena melihat luka di wajahnya. Lebih dari itu, dia bisa merasakan betapa beratnya perasaan yang ditanggung Kavaya saat ini.

Kavaya menundukkan kepala, akhirnya air mata itu jatuh juga. “Maaf, Kak… karena aku, Kakak sama Felix sampai kayak gini. Aku… aku nggak pernah mau hal ini terjadi, sungguh kak…”

Tanpa ragu, Gavin langsung menarik Kavaya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan Kavaya menangis, dan dengan lembut mengusap punggungnya, menenangkan perasaan bersalah yang semakin kuat di hati perempuan yang dia cintai itu.

“Aku nggak apa-apa, Vaya. Lagi pula… ini mungkin konsekuensi yang memang harus dihadapi,” Gavin bergumam pelan, mencoba menyampaikan pengertian di balik semua yang terjadi.

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang