"Aku harap semua bisa berlalu dengan cepat. Menjadi dewasa itu sangat rumit.. banyak sekali hal yang dipikirkan bahkan hal kecil pun pastinya akan menjadi besar.. dan hal besar akan berubah menjadi sangat besar. Tapi aku pasti bisa melewatinya"
- Kavaya Priciliani
--------
Felix berangkat keesokan paginya dengan suasana rumah yang terasa dingin dan sepi. Malam sebelumnya, dia dan Kavaya tidak saling bicara sepatah kata pun, seolah-olah ada dinding yang terbentang di antara mereka. Felix duduk di meja makan, menyantap sarapan yang terasa hambar. Tatapan matanya sesekali melirik ke arah tangga, berharap melihat Kavaya yang turun, mungkin sekadar untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun, hingga dia menyelesaikan makanannya, tidak ada tanda-tanda kehadiran kakaknya.
Saat mobil keluarga sudah siap di depan, Felix berdiri di ambang pintu. Ibunya dan ayahnya menunggunya di mobil dengan wajah penuh harapan, meskipun mereka tampak sedikit bingung melihat ketidakhadiran Kavaya.
Felix menoleh ke arah ibunya, menyembunyikan kekhawatiran di balik ekspresi datarnya.
"Kak Vaya mana, Mah?" tanyanya, mencoba bersikap biasa saja, meski ada nada kecewa yang samar di suaranya.
Ibunya tersenyum canggung, berusaha menjawab dengan tenang.
"Vaya lagi di kamarnya, Felix. Dia nggak bisa ikut nganter, katanya ada tugas kampus yang harus dia selesaikan hari ini."
Felix menatap Ibunya dengan mata yang mencoba tetap tenang, namun dalam hatinya, dia tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Itu bukan soal tugas kampus. Itu hanya alasan untuk menghindarinya setelah kejadian kemarin. Kata-kata yang diucapkannya kepada Kavaya kemarin tentang perasaannya pasti membuat kakaknya merasa canggung, dan mungkin marah. Namun, Felix tidak bisa menyalahkan Kavaya untuk itu. Dia tahu bahwa perasaannya adalah sesuatu yang seharusnya tidak ada di antara mereka.
"Ya, udah. Aku mau pamitan dulu sama Kak Vaya, Mah," ujar Felix singkat, sebelum melangkah menaiki tangga menuju kamar kakaknya.
Saat sampai di depan pintu kamar Kavaya, Felix merasa detak jantungnya semakin keras. Ada keraguan yang menyelinap di benaknya, sebagian dari dirinya ingin masuk dan mengucapkan perpisahan dengan hangat, namun sisi lainnya menyadari bahwa mungkin kehadirannya hanya akan memperburuk keadaan. Namun, keinginan untuk melihat Kavaya sekali lagi sebelum pergi akhirnya lebih kuat.
Tok! Tok! Tok!
Felix mengetuk pintu sekali, tidak terlalu keras. Tidak ada jawaban. Dia lalu membuka pintu pelan-pelan, membiarkan suara engsel pintu yang berderit mengisi keheningan di dalam ruangan.
Di dalam, Kavaya tampak berbaring di tempat tidur, tubuhnya meringkuk di balik selimut. Wajahnya tersembunyi di bawah lipatan kain, seolah-olah dia ingin menghilang dari dunia ini. Felix berdiri di ambang pintu, menatap punggung kakaknya yang hanya terbungkus selimut tebal. Ada perasaan nyeri di hatinya saat melihat betapa jauh jarak di antara mereka sekarang.
Felix menggigit bibirnya, mencoba menahan luapan emosinya. Dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk mengungkapkan lebih banyak perasaan. Namun, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, meskipun dia tahu bahwa mungkin tidak akan ada jawaban.
"Aku pergi, Kak," ucap Felix lirih.
Suaranya nyaris seperti bisikan, namun setiap kata yang keluar terasa berat, seolah mengandung beban perasaan yang tak terkatakan.
"Jaga diri, ya kak."
Kavaya tetap diam. Tidak ada suara atau gerakan dari balik selimut itu, namun Felix tahu bahwa kakaknya mendengar kata-katanya. Felix memilih untuk tidak memperpanjang situasi. Dia melangkah keluar kamar, menutup pintu perlahan di belakangnya, membiarkan keheningan memenuhi ruangan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU, VAYA!
Teen FictionBagaimana rasanya kalau ternyata orang-orang yang dekat denganku, memiliki perasaan terhadapku? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya agar tidak menyakiti salah satu dari perasaan mereka? Tapi apakah perasaanku juga sama? Namun, tiba-tiba se...