BAB 25: Lamaran Gavin

8 3 0
                                    

"Aku akan coba untuk mencintaimu, kak. Aku tahu.. ini seperti paksaan untuk diriku sendiri. Tapi melihatmu bahagia, itu sudah cukup untukku. Aku akan belajar.. belajar untuk mencintaimu.. belajar untuk menganggapmu lebih dari sekedar kakak besar untukku. Aku akan belajar mencintaimu sebagai seoarang laki-laki. Aku harap.. aku bisa melakukannya"

- Kavaya Priciliani

----------

Kavaya duduk di tempat tidurnya, pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya. Seminggu sudah berlalu sejak malam panas itu. Setiap malam, kejadian itu menghantuinya setiap kali dia mencoba untuk memejamkan mata. Hubungannya dengan Gavin tak lagi sama. Semuanya terasa canggung. Mereka belum bertemu sejak malam itu. Kavaya merasa bingung; hatinya tertarik ke arah yang berlawanan, seperti berdiri di ambang jurang yang tak berujung. Gavin juga belum menghubunginya. Tak ada pesan atau telepon. Tapi satu bagian dalam dirinya lega. Kavaya butuh waktu untuk berpikir.

Besoknya, Kavaya melakukan aktivitasnya seperti biasa, dia pergi untuk magang. Di malam harinya, saat Kavaya sedang bersiap-siap untuk pulang dari magangnya, tiba-tiba muncul pesan dari Gavin di ponselnya.

Kak Gavin

Aku tunggu di depan kantor kamu. Kita perlu bicara

Kavaya hanya melihat pesan itu saja dan tidak membalasnya. Dia langsung  keluar dari gedung kantor dan terkejut melihat sosok Gavin berdiri di depan, menunggunya dengan mobilnya. Dia terlihat tenang, namun wajahnya menunjukkan ketegangan yang jelas.

"Kak? Kamu beneran ada disini? Kenapa kamu kesini?" tanya Kavaya dengan nada terkejut.

"Aku ingin bicara denganmu. Ayo, ikut aku," jawab Gavin sambil tersenyum samar. 

Kavaya ragu sejenak, namun akhirnya setuju dan masuk ke dalam mobil. Tak banyak kata yang terucap selama perjalanan, hanya hening yang menggantung tebal di antara mereka, seperti kabut tebal yang sulit ditembus. Kavaya merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring mobil yang melaju menuju tujuan yang ia tidak ketahui. Gavin, yang biasanya sangat terbuka, kali ini begitu tenang dan serius, membuat Kavaya semakin penasaran.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka tiba di sebuah hotel mewah. Kavaya memandang tak percaya, bingung dengan tujuan Gavin membawanya ke sini. Gavin turun dari mobil dan membuka pintu untuknya. Kavaya keluar dengan ragu-ragu, menatap bangunan megah di depannya.

"Ini semua apa, Kak?" tanyanya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh desiran angin malam.

Gavin hanya tersenyum samar. "Ikuti aku, Vaya. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan." Ia menggenggam tangan Kavaya dengan lembut, membimbingnya masuk ke dalam hotel. Kavaya merasakan kehangatan tangan Gavin, namun ada perasaan aneh yang bercampur dengan kehangatan itu—perasaan bersalah, penyesalan, dan... kasih sayang yang tak terucapkan.

Mereka naik ke lantai paling atas, menuju sebuah ruang VIP yang telah dipesan oleh Gavin. Pintu terbuka, dan Kavaya terperangah. Ruangan itu dihiasi dengan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Karpet merah terbentang di tengah ruangan, dihiasi kelopak mawar yang tersebar di sepanjang jalan menuju balkon yang menghadap ke pemandangan kota malam. Di sana, ada meja kecil yang didekorasi dengan anggun, lengkap dengan bunga mawar putih dan lampu-lampu gantung yang berkilauan.

Kavaya berdiri terpaku, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Ini... ini semua... apa, Kak?" suaranya terdengar gemetar.

Gavin menatapnya dengan lembut, ada kepastian di dalam matanya yang membuat Kavaya sedikit gelisah. "Ini untukmu, Vaya. Sebagai permintaan maafku... atas apa yang terjadi seminggu yang lalu." 

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang