BAB 8: Rindu Mama

10 4 0
                                    

"Ibu adalah sosok yang spesial bagi setiap anak yang lahir di dunia ini. Sama halnya dengan diriku, Ma. Mama sangat spesial untukku walaupun fisik mama tidak ada lagi di dunia ini"

- Kavaya Priciliani

----------

Kavaya berusaha untuk tidur tapi dia tidak bisa. Dia memilih untuk duduk di tepi tempat tidurnya. Di tangannya masih ada foto ibunya yang dia genggam erat sedangkan di samping ada piala penghargaan yang dia dapatkan. Tidak lama, Kavaya menaruh foto ibunya dan beralih memegang piala di tangannya. Matanya menatap piala tersebut, tetapi pikirannya berkelana jauh, terbang kembali ke masa-masa bersama Mama.

Dia menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala, dan meletakkan kembali piala di sampingnya. Kamar yang biasanya terasa nyaman sekarang malah membuatnya sedikit sesak. Hatinya terus bergejolak.

"Ma..." bisiknya pelan.

Kavaya mendongak ke atas dan memandang langit-langit kamarnya yang putih dan terhias oleh stiker bintang yang bercahaya jika lampu tengah dimatikan. Di sudut matanya, dia kemudian melihat kembali ke arah meja belajarnya, disana ada foto lamanya. Foto kecil dirinya yang sedang digendong oleh Mamanya, dimana ekspresi ibunya itu menampakkan senyuman lembut yang selalu membuatnya Kavaya merasa aman.

Dia bangkit dari tempat tidurnya dan meraih foto itu, lalu memeluknya erat.

"Ma, aku mau bilang sekali lagi kalau aku lulus hari ini. Aku dapat penghargaan, loh. Papah sama Mama Mira seneng banget... terus Felix, adik kecilku yang satu itu juga sangat senang, Ma. Sampai dia melakukan tindakan diluar dari kebiasanya." Suara Kavaya bergetar sedikit, lalu dia tersenyum kecil.

"Ma.. aku juga keterima di Universitas Nusantara Mandala, Ma. Itu kampus impianku, Ma... Aku seneng banget, Ma.. Aku sudah tepatin janji untuk bisa hidup tanpa Mama... Akhirnya aku bisa sampai di sini, Ma. Aku harap... aku harap Mama bisa bangga sama aku," lanjut Kavaya sampai air matanya kembali mengalir begitu derasnya.

Setelah itu, dia terdiam sejenak, membiarkan keheningan malam menyelimuti pikirannya. Tapi hati kecilnya merasakan ada yang hilang. Ada perasaan rindu yang tak tertahankan setiap kali dia memikirkan sosok ibunya itu.

"Aku selalu mikir... gimana ya kalau Mama masih ada? Pasti Mama bakal jadi orang pertama yang peluk aku hari ini, kan? Mama pasti bakal masakin makanan favorit aku kan buat ngerayain kelulusan ini, kayak janji Mama waktu aku kecil buat masakin aku kalau aku lulus SD..." Kavaya mengusap matanya yang mulai basah dan banjir air mata.

"Meskipun janji itu gak terpenuhi.. karena mama sudah pergi lebih dulu... Tapi, ma.. aku tahu.. aku tahu.. Mama selalu ada, meskipun fisik mama nggak di sini."

Dari kejauhan, ada sosok yang sedang mengamati Kavaya. Ya, tu Felix. Tanpa Kavaya sadari Felix sudah berada di ambang pintu kamarnya. Pintu kamar Kavaya tidak tertutup rapat melainkan masih terbuka sedikit. Sehingga seseorang bisa saja melohat tindakannya itu.

Felix sedang berdiri di sana, diam-diam memperhatikan. Pandangannya tertuju pada punggung Kavaya yang terguncang karena tangis. Melihat Kakaknya menangis seperti itu membuat hatinya terasa sesak. Perasaan aneh yang semakin kuat menghampiri dirinya. Bukan hanya karena mereka saudara tiri. Tapi Felix merasa lebih dari itu. Lebih dalam dan juga lebih nyata.

Tanpa berpikir panjang, Felix mendorong pintu itu perlahan, masuk ke dalam kamar Kavaya.

"Kak...?"

Kavaya kaget, buru-buru menyeka air matanya. "Felix? Kenapa kamu kesini? Kamu belum tidur?" tanyanya.

Felix mendekat dengan hati-hati, lalu duduk di samping Kavaya. Dia menatap wajah Kavaya yang masih basah oleh air mata.

"Aku lihat kak Vaya nangis. Kenapa, Kak? Ada yang salah?"

Kavaya tersenyum kecil, meski tatapan matanya masih terlihat sendu.

"Nggak, nggak ada apa-apa kok. Aku cuma... aku cuma lagi kangen sama mama. Itu aja kok."

Felix terdiam sejenak, lalu tanpa berkata-kata, dia meraih tubuh Kavaya dan memeluknya erat. Pelukan yang hangat dan penuh perhatian.

"Gak usah bohong kak. Gak apa-apa, kak. Jujur aja. Aku di sini. Jadi jangan sedih. Kalau mau nangis.. nangis aja kak"

Kavaya membeku sejenak di dalam pelukan itu. Felix jarang sekali memeluknya seperti ini. Namun, kali ini, pelukan itu terasa berbeda. Bukan hanya pelukan yang menenangkan, tetapi juga memberikan rasa nyaman yang mendalam. Kavaya akhirnya menyerah pada emosinya, bersandar pada tubuh Felix dan membiarkan air matanya kembali mengalir.

"Aku selalu merasa... merasa.. seandainya mama masih ada, mungkin.. mungkin akak terasa beda, Lix," kata Kavaya di sela-sela isakannya.

"Aku.. aku pengen banget bisa peluk mama lagi. Aku.. aku pengen cerita ke mama tentang hari ini... Tapi aku tahu itu nggak mungkin."

Felix mempererat pelukannya. Hatinya ikut terluka mendengar kesedihan Kavaya.

"Kak, aku janji... Aku akan selalu ada buat Kakak. Aku janji. Aku akan berusaha supaya kakak gak pernah sedih lagi."

Kavaya tersenyum tipis di balik air matanya.

"Makasih, Lix. Kamu adik kecilku yang sangat baik, Felix... Aku bersyukur.. aku punya kamu. Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik, " ucap Kavaya sambil membalas pelukan Felix dengan erat.

Felix merasakan dadanya berdebar. Kata-kata Kavaya yang sederhana dan pelukan balasan yang diberikan itu membuatnya semakin yakin dengan perasaannya. Dia tidak hanya ingin melindungi Kavaya sebagai saudara. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Rasa suka yang semakin hari semakin besar dan kuat.

"Aku sayang Kakak..." bisik Felix dengan suaranya yang pelan namun penuh makna.

Kavaya yang sudah lelah dengan emosinya, hanya mengangguk pelan dan melepaskan pelukannya kemudian mengambil arah lain dengan menyandarkan kepalanya di bahu Felix.

"Aku juga sayang kamu, Felix..." ucap Kavaya pelan.

Namun, Felix tahu, perasaan mereka tak sama. Perasaan yang tumbuh di hatinya bukan lagi sekadar kasih sayang sebagai adik. Dia tahu, dia sudah jatuh cinta pada Kavaya. Semakin lama, semakin kuat. Dan malam ini, dia benar-benar sadar, dia tak bisa membohongi dirinya sendiri lagi.

Felix merasakan Kavaya mulai tertidur dalam pelukannya, napasnya pelan dan teratur. Dia membiarkan Kavaya beristirahat sejenak, masih memeluknya erat dari samping, menikmati kehangatan yang terasa sangat intim di antara mereka.

Ketika Felix merasa Kavaya sudah benar-benar tertidur, dia dengan hati-hati merebahkan tubuh Kavaya ke tempat tidur, menyelimuti tubuhnya dengan lembut. Kemudian dia berdiri di tepi ranjang, menatap wajah Kavaya yang damai dalam tidurnya. Wajah yang selama ini selalu memberinya kekuatan, dan sekarang menjadi alasan mengapa dia ingin terus tumbuh dan menjadi dewasa.

Felix membungkuk perlahan, mendekati wajah Kavaya yang tertidur, dan dengan sangat lembut, mencium keningnya. Sentuhan itu membuat dadanya berdegup kencang, rasa gugup dan bahagia bercampur aduk.

"Selamat tidur, kak..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

"Aku janji... aku bakal selalu bawa kebahagiaan buat kakak."

Felix berdiri lagi, menghembuskan napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali itu.

"Aku harus cepat jadi dewasa. Aku harus lulus dengan baik... aku janji, kak.. aku akan jagain kakak selamanya."

Setelah itu, dengan langkah pelan, Felix keluar dari kamar Kavaya, menutup pintu dengan lembut.

Di dalam hatinya, dia tahu, perasaannya tak lagi bisa ditutupi. Dia sudah jatuh cinta bukan kepada Kavaya sebagai kakaknya tetapi pada Kavaya sebagai seorang gadis yang telah menjadi pusat dalam dunianya.

~ Next...

LOVE YOU, VAYA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang