"Hidupku bukan untuk mendengar hinaan kalian."
Satu hari ini, aku benar-benar lelah. Sama sekali nggak ada jam kosong kali ini. Pelajaran terus di jelaskan dan beberapa jam setelah itu Dosen pun berganti, sedikit kesal saat Dosen itu memintaku mengulang kembali pelajaran minggu lalu.
Kenapa? Karena saat aku mulai berbicara, Dosen itu malah dengan santainya mengatakan kalau aku tidak mengulang kembali pelajaran minggu lalu. Cara Dosen itu berbicara, membuat seisi kelas menjadi penuh tawa. Aku yang sedikit kesal hanya diam dan kembali duduk.
Sungguh anekdot yang sempurna buat mereka. Tapi, tanpa aku sadari tiba-tiba Stella berdiri dari bangkunya dan memberi anekdot baru, dia mengatakan kalau Dosen itu sangat pintar dalam membuat lelucon. Sontak, Dosen itu terdiam sambil mentap Stella dan meminta kami untuk membuka buku pelajaran berikutnya di halaman 134.
Pelajaran pun dimulai, semua berjalan dengan tertib dan penuh perhatian. Kali ini tanpa adanya anekdot lagi. Ini kali pertama aku merasakan suasana kelas yang nyaman, entah itu karena anekdot Stella tadi. Tapi, bagiku itu bukanlah sebuah anekdot, itu seperti kalimat untuk meminta seseorang diam dalam lelucon yang sama sekali tidak lucu itu.
Akhirnya jam istirahat, pelajaran pun selesai. Sebenarnya pelajaran ini sangat singkat, hanya sekitar dua puluh menit saja. Tapi, walaupun itu sangat singkat itu seperti memakan waktu berjam-jam bagiku. Ya, biasanya kelas akan di mulai saat mereka selesai dengan anekdot mereka. Yang mengatakan, bahwa saking pintarnya aku. Aku tidak perlu belajar, karena buku itu yang akan menjawab jawabannya sendiri. Membosankan dengan semua itu, sepertinya aku akan membenci anekdot mulai sekarang.
"Sin, hari ini kamu nginap di rumah aku, ya?" tanya Stella sambil mengunyah makanannya. Aku langsung menggeleng cepat, aku tahu apa maksud dari si Stella jeruk ini. Dia pasti ingin meminta bantuanku untuk memasak di rumahnya. Bukan rumah sih, tepatnya itu lebih ke apartemen milik keluarganya.
Dia menatap ku kesal. "Kok gitu sih? Mau ya Sin, please," bujuknya lagi sambil memasang wajah melasnya itu. Akhirnya aku nyerah dan mengangguk sebagai tanda kalau aku setuju. Dia hanya tersenyum sambil kembali menikmati satu mangkok ketopraknya itu.
Begitu pula aku, aku juga kembali menyantap ketoprak dengan level pedas yang cukup membuat aku bercucuran air mata. "Kebiasaan kamu kalau lagi kesel, pasti makan yang pedas kek gitu," sambung Stella yang memperhatikanku.
"Sin, sesekali kamu harus lawan mereka. Biar mereka enggak ngeremehin kamu terus," jelas Stella padaku, yang sama sekali tidak aku gubris itu. "Lagian, kamu juga enggak sendiri Sin, 'kan ada aku." sambungnya lagi, sambil geleng-geleng kepala. Tampaknya dia mengerti dengan sikap diamku itu.
Ini jam terakhir kami, aku berharap Dosen ini tidak memperlambat jam pelajaran lagi. Karena biasanya, Dosen ini selalu memperlambat jamnya sendiri. Dan akhirnya meminta jam tambahan. Entahlah, tampaknya semua Dosen sama saja bagiku. Mereka juga sesekali terlibat untuk mengejekku, dan akan disambut dengan beberapa teman kelasku yang lainnya.
Akhirnya semua mentertawakan ku dengan lelucon atau ejekkan mereka. Ayolah, tidak akan ada orang yang mau menjadi bodoh. Begitu pula aku, bisakah kalian mengerti bagian itu. Kalimat yang kalian jadikan lelucon itu sama sekali tidak lucu. Dan aku bukan Nobita! Bahkan Nobita saja kesal dengan ejekkan itu, apa lagi aku.
Matahari mulai redup, dengan pancaran cahayanya yang tidak terlalu panas. Itu artinya hari sudah hampir sore, dan jam pelajaran selesai untuk hari ini. Aku dan Stella bergegas pulang, seperti biasanya. Stella akan di jemput dengan sopir pribadinya, kali ini dia ingin aku menginap di apartemen milik keluarganya. Tampaknya dia sangat menyukai masakanku, makanya setiap masakan yang aku masak habis. Dia akan memintaku untuk memasakkannya lagi untuknya.
Aku sama sekali tidak keberatan, kami sama-sama melangkah riang penuh dengan canda tawa. Aku rasa dia sengaja melakukannya untuk menghiburku. Agar aku bisa melupakan semua kejadian hari ini. Tapi, aku sudah mengalaminya setiap hari. Jadi aku pikir aku sudah terbiasa. Tentunya, niat baik dari Stella jeruk ini akan selalu aku hargai.
"Hai bodoh, mau pulang ya? Hati -hati ya kalau mau nyebrang," ejek salah satu teman kelasku, yang sengaja berjalan di samping kami. Stella yang mendengar kalimat itu, kesal dan langsung memintaku untuk segera masuk ke dalam mobil milikya. "Masuk pak, trus tabrak mereka berdua. Habis itu saya mau ngejahit mulutnya," tukas Stella yang sengaja mengeraskan nada bicaranya, agar kedua orang itu mendengarnya. Sontak mereka berdua berlarian begitu saja, dan mengundang tawa dari mulutku.
"Apanya yang lucu sih, Sin?" tanya Stella bersungut-sungut. Aku masih tertawa karena menurutku itu adalah kalimat yang lucu. Bagaimana tidak, dia ingin menjahit mulut mereka? Sementara dia sendiri saja takut sama jarum. Aku menggeleng pelan sambil memegang perut dengan kedua tanganku. Dia masih saja kesal dan meminta sopirnya segera jalan.
Sesampainya di apartemen milik keluarganya, kami bergegas turun dan masuk ke dalam. Stella meminta pak sopir untuk pulang ke rumahnya dengan membawa mobil itu, pak sopir itu mengerti dan pamit pada Stella. Terkadang, Stella itu benar-benar terlihat seperti seorang nyonya besar, saat dia sedang berbicara dengan semua pelayanannya atau bahkan pak sopir tadi. Aku sama sekali bukanlah tandingannya.
Namun, saat dia bersamaku. Dia malah terlihat seperti seorang teman dan bahkan seperti seoarang ibu. Entahlah, saat kami sama-sama tumbuh dewasa. Aku semakin merasa tidak pantas berada di sampingnya.
Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung menaruh tasku di atas sofa dan mulai melangkah ke dapur. "Nyonya besar, nyonya mau saya masakin apa hari ini?" tanyaku yang sengaja ingin menjahili si Stella jeruk itu.
Stella yang baru saja berbaring di sofa milik ya, langsung menatap ku tajam. "Itu sama sekali tidak lucu ya, Sin!" ucapnya dengan mata yang melotot. Aku hanya tertawa puas dengan ekspresinya itu, menurutku anak Sultan ini benar-benar menyenangkan untuk aku jahili.
Saat semua masakan sudah selesai, aku menyiapkannya di meja makan. Lalu membangunkan si anak Sultan itu, dia bangun sambil mengucek pelan kedua matanya. "Makasih ya Sin," tutur Stella yang langsung menyantap masakan yang aku masak untuknya.
Aku hanya mengangguk, dan ikut makan bersamanya. Lagian ini juga sudah waktunya makan malam, kami berdua sama-sama lelah dan kelaparan. Karena saat di kantin tadi, kami hanya makan sedikit. Banyak makanan yang sudah terjual habis, jadi kami hanya bisa makan ketoprak hari ini.
"Selesai makan, temenin aku ke mall, ya?" ajak Stella sambil menatap ke arahku. Aku menatapnya balik dengan tatapan kesal, dia yang mengerti dengan tatapan ku itu langsung mmbentuk huruf V dengan kedua jarinya. " Janji, kali ini nggak bakalan lama kok," jelasnya sambil tersenyum. Akhirnya aku mengalah dan menuruti keinginannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Penghujung Musim (TAMAT)
RomanceSeperti bunga sakura, cinta akan indah pada musimnya. Sayangnya, itu hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Setelah itu, musim berikutnya akan mengambil keindahannya. Ya, musim gugur, bunga yang cantik akan gugur secara perlahan dan hanya akan me...