11. Meninggalkan bukan Berarti Tak Bertemu Lagi

10 1 0
                                    

"Pergi jauh untuk meraih impian."

Tak ada yang salah dengan keputusan ini, karena ini adalah impianku. Dan juga impian sahabatku, Stella. Kami memiliki mimpi yang besar. Ingin menjadi pengusaha yang sukses di usia muda, dan bisa melakukan apa saja yang kita inginkan.

Ini dia, langkah awal ku. Akhirnya aku sampai ke negeri ini, tempat di mana aku akan melanjutkan studyku. Setelah beberapa kali mendapatkan pesan dari Stella, dia selalu menanyakan banyak hal. Dia adalah sahabat yang selalu ada untukku, dan juga yang terbaik.

Di bandara, sudah ada satu taxi yang sedang menunggu kedatanganku. Sepertinya dia adalah orang yang dimaksud oleh Stella tadi. Saat aku keluar dari bandara, akan ada yang datang menjemputku. Dia bilang itu adalah salah satu pihak kampus tempat di mana aku melanjutkan studyku nanti.

Dengan sopan aku menyapanya, dan dia juga menyamnut kedatanganku dengan ramah. Tanpa banyak kata lagi, dia mempersilahkan aku untuk masuk dan taxi itu melaju menembus menembus butiran salju.

Setengah jam lamanya, akhirnya kami sampai ke asrama kampus. Lagi, aku di sambut dengan beberapa orang yang tengah menungguku di gerbang asrama. Mereka terlihat seperti satu orang Dosen dan dua orang mahasiswi. Mereka tersenyum dan mengantarkan ku ke kamar yang di sediakan oleh kampus ini.

Kami terlibat percakapan ringan, dan sesekali tertawa bersama. Dua orang ini sangat baik padaku, tanpa kami sadari. Kami telah sampai ke kamar di mana aku akan istirahat di sana.

Mereka mempersilahkan ku untuk masuk, dan mengizinkanku untuk istirahat. Perkenalannya akan kita lanjutkan besok, hari ini aku benar-benar lelah tempat ini juga terlihat baik dan menyenangkan.

Ke esokannya, salah satu mahasiswi yang tinggal di kamar sebelah mengetuk pintu kamar ku. Aku bingung kalau dia berbicara dengan bahasa Jepang gimana, aku hanya bisa berbahasa Inggris. Di luar dugaanku, ternyata dia adalah orang Indonesia. Salah satu mahasiswi yang juga mendapatkan beasiswa, sama sepertiku.

Tanpa ragu lagi, aku membuka pintu dan mempersiapkannya untuk masuk. Kami terlibat obrolan kecil, seperti perkenalkan dan hal lainnya. Setelah itu, kami berdua memutuskan untuk masuk ke kelas masing-masing sesuai dengan no beasiswa yang kami miliki.

Sesampainya di dalam kelas, aku memperkenalkan diriku dan juga menyapa Dosen yang ada di sebelahku. Beberapa dari mereka terlihat senang dengan kedatanganku. Tapi, ada juga yang tidak peduli dengan kedatanganku. Aku hanya menahan nafasku dan berpikir, aku tidak bisa membuat semua orang senang dan bahagia terhadapku.

Akhirnya jam pelajaran pun dimulai, kami mengikuti pelajaran dengan tenang dan fokus. Luar biasa, kelas ini sangat tenang dan begitu mengagumkan. Tidak sama dengan kelasku dulu, berisik dan suka menindas orang lain.

Dosen itu menerangkam materi dengan sangat baik, mudah di pahami dan beliau juga memberikan beberapa contoh dari pelajarannya. Beberapa hal yang aku anggap penting, aku akan langsung mencatatnya di buku catatanku.

Andai Stella di sini, aku akan sangat bahagia. Tapi, aku akan terus semangat untuk meraih impianku dan membalas kebaikannya. Pelajaran akhirnya selesai, sebelum kembali ke asrama. Aku ingin berkeliling sebentar, melihat kampus ini dan menikmati pemandangannya.

Kampus ini terletak tidak terlalu jauh dari kota, di lapangan tepatnya di bagian pinggir lapangan kampus ini ada beberapa pohon sakura yang tumbuh di sana. Aku nggak sabar untuk melihat mekarnya bunga sakura saat musim semi nanti.

Kolam kecil, kampus ini juga memiliki kolam kecil di dekat pohon sakura itu. Kebayang nggak sih, pohon itu tertata rapi di pinggi lapangan dengan adanya satu kolam kecil. Benar-benar tempat yang indah, menurutku siapa sih yang nggak mau melanjukan studynya di sini, aku duduk di bawah salah satu pohon sakura itu. Menatap jauh ke depan memandang takjub kampusku.

Namun, pandanganku terhenti saat melihat kedatang seseorang. Sontak aku berdiri dan membersihkan celanaku yang sedikit kotor itu. Aku memilih untuk segera pergi dari tempat ini, tapi pria itu melambaikan tangannya dan berlari kecil ke arahku.

"Kenapa malah pergi, duduklah jika kamu suka dengan pemandangannya," ucap pria itu ramah.

Aku hanya mengangguuk sambil tersenyum. "Kamu Sinta Sabrina, kan?" tanya pria itu yang telah duduk lebih dulu dariku.

"Eh?" heranku menatapnya serius.

"Iya, Sinta Sabrina dari kampus A+ aku juga salah satu mahasiswa yang berhasil mendapatkan beasiswa itu. Aku mengenalmu karena saat itu pengumumannya ada di kampusmu, bukan?" jelasnya panjang lebar.

"Oh iya, kenalin. Aku Daniel salah satu mahasiswa baru di sini, aku ada di kelas ekonomi lantai dua," tuturnya sambil menjulurkan tangannya padaku.

Walau masih sedikit nggak nyangka, aku meraih tangannya dan memperkenalkan diriku. "Daniel, kamu tahu tempat ini dari mana?" tanyaku penasaran, karena tempat ini ada di tengah dua gedung. Sementara gedung Daniel itu ada jauh di depan.

Dia tersenyum menatapku. "Maaf ya Sinta, aku tadi ngikutin kamu diam-diam," jelasnya dengan dua jari yang sengaja dia bentuk seperti huruf V itu. Aku terdiam mengingat satu hal, itu adalah ke biasakan Stella saat dia melakukan kesalahan. Sekarang aku malah merindukan sahabatku itu.

"Kamu ngikutin aku?" tanyaku dengan tatapan tidak percaya. "Itu nggak baik Daniel," jelasku dengan mata yang melotot.

Dia menatapku gemas sambil tertawa. "Aku bercanda Sinta, tentu saja aku tahu tempat ini. Lagian ada di peta kampus ini juga." Daniel benar-benar puas dengan tawanya, alhasil wajahkulah yang merah seperti tomat sekarang.

Kenapa sih anak ini, baru kenal juga udah nyebelin banget. Ah, itu karena humornya aja yang tinggi. "Maaf ya Sin, aku tadi cuma mau becandain kamu aja. Habis ngeliat ekspresi kamu tadi aku jadi gemes sama kamu," tuturnya sambil tersenyum hangat.

"Sinta, ayo kita berteman," ucapnya lagi dengan tatapan serius kali ini.

Aku masih diam, berusaha menyembunyikan wajah merahku ini. Saat aku mendengar dia mengatakan hal itu. Aku berbalik dan mengangguk sebagai tanda kalau aku mau menjadi temannya.

"Sinta Sabrina, kenalin aku Daniel Kumalang. Sekarang kita resmi menjadi teman di hari, jam dan detik ini. Ingat, kalau ada masalah kita harus saling berbagi, dan siapa yang sudah punya pacar duluan dia harus bayar tiga ratus ribu ke temannya, setuju?" tanya Daniel yang menatapku dengan tatapan nyebelinnya itu.

"Eh?" gumamku yang merasa aneh dengan kalimatnya itu.

"Iya, kalau kamu udah punya pacar. Kamu bayar ke aku tiga ratus ribu," jelasnya lagi.

Lagi, aku kembali terdiam. Berpikir peraturan macam apa ini, kenapa harus bayar segala sih kalau salah satu dari kita udah punya pacar. "Sinta, kamu kenak lagi. Aku nggak serius dengan kalimat terakhirku, aku hanya ingin menggodamu saja." Daniel tersenyum sambil menyentil pelan hidungku, lalu melangkah pergi meninggalkanku di sini.

Perasaan apa ini, kenapa aku merasa aneh saat berada di dekatnya. Bahkan dengan sikap dan cara dia memperlakukanku tadi

Tahu, cinta itu hadir tanpa alasan.

Cinta Di Penghujung Musim (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang