13. Perasaan Itu Hadir

4 1 0
                                    

"Apa salah jika aku menyukainya, bukankah cinta itu datang tanpa alasan."

Hari ini semua berjalan seperti biasanya, ada hal yang jauh lebih menyenangkan saat ini. Kelas yang aku tempati sekarang itu sedang mengadakan ujian, dan yang paling membuatku bahagia adalah saat aku mendapatkan nilai yang sempurna.

Aku nggak akan menunda lagi, hasil dari ujian itu aku kirimkan pada sahabatku, Stella. Dia memberikan ucapan selamat dan mengirimkan aku sejumlah uang sebagai hadiah. Lihat, bukankah anak sultan ini sangat royal padaku.

Selain itu, dia juga memberikan aku dorongan. Agar kedepannya aku bisa terus mendapatkan nilai sempurna, aku janji aku akan membahagiakan kamu, Stella.

Kami bercrita banyak hal, dan sering juga dia memintaku untuk pulang. Aku hanya bisa menenangkan sahabatku ini, dia akan menangis jika aku tidak menuruti keinginannya. Sejujurnya, aku juga ingin pulang memeluk erat sahabatku itu. Berbagi banyak hal dan bercanda bersama, tapi Stella. Ayo, kita harus berjuang bersama.

Beberapa murid di kelasku menyapa dengan ramah, mengajariku beberapa kosa kata bahasa mereka. Aku mencoba untuk mempelajarinya dengan baik, dan bagusya. Aku bisa menguasai beberapa kata saat aku berbicara dengan mereka.

Kalian tahu nggak sih, seseru itu saat mereka antusias mengajari kita bahasa mereka. Walau hanya beberapa kata saja, setidaknya aku bisa bersosialisasi dengan mereka.

Sekarang, aku mengerti apa yang pernah di katakan oleh Stella dulu. Berjuanglah maka kamu akan mendapatkan hasilnya. Menurutku inilah hasilnya, aku bisa berbicara bahasa Jepang sekarang.

Saat jam pelajaran berakhir, aku berlari menuju ke taman kecil. Di mana beberapa pohon sakura berbaris rapi, seperti biasa di sana sudah ada Daniel yang menunggu kedatanganku.

Aku tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Dia membalasku dengan senyuman hangat dan juga memintaku untuk tidak berlari lagi.

"Jangan lari gitu Sinta, nanti kamu bisa jatuh," ucapnya sedikit khwatir.

Namun, aku tidak mempedulikannya. Aku masih berlari dan kini tepat berada di hadapannya, dengan wajah yang sangat bahagia karena nilai ujian pertamaku mendapatkan nilai sempurna. "Aku seneng banget Daniel, nilai ujian pertamaku sempurna," seruku sambil memperlihatkannya pada Daniel.

Dia hanya tersenyum, dan menatapku dengan senyumannya. Sesekali dia mengusap lembut kepalaku, dan mengatakan kalau itu adalah kerja bagus. "Selamat ya Sinta, itu adalah hasil dari kerja keras kamu." Daniel kembali mengusap lembut kepalaku.

"Daniel, aku bukan anak kecil ih," seruku sambil menepia tangannya dari kepalaku.

Dia tertawa gemas sambil mengatakan. "Bener juga, terus kenapa anak kecil bisa berkeliaran di sini ya?" tanya nya yang berniat menjahiliku sekarang. Aku yang nggak terima langsung memukul pria itu. Dia menghindar dan berlari menjauhiku, berteriak kalau aku ini anak kecil yang lucu.

Entah kenapa, kalimat yang keluar dari mulutnya berhasil membuatku merasa nyaman dan juga deg-degan. Ada yang aneh di dalam sana, jauh di dalam hatiku. Apakah ini akan baik-baik saja, hubungan kami dan study ini.

Ada beberapa kosa kata yang aku baca tentang cinta, beberapa di antaranya sangat menyakitkan. Lalu, apakah aku sedang jatuh cinta sekarang. "Sinta, kamu kecapean kan ngejar aku seperti itu. Jadi gimana, masih mau main kejar-kejaran lagi, hm?" tanya nya sambil mengusap lembut kepalaku.

Aku yang dalam posisi duduk dengan nafas yang masih tersengal-semgal, mendongak menatapnya. "Gimana, masih bisa larinya?" Sambungnya sambil mencubit pucuk hidungku.

"Apaan sih, Daniel. Nggak mau aku udah capek," astaga perasaan apa ini, kenapa jantungku terancam sekarang. Tolong tenanhlah jantungku, jangan sampai detakkanmu di dengar sama si Daniel ini.

"Sinta Sabrina, seorang gadis kecil, pendek, lucu dan sangat menggemaskan." aku harap gadis itu tidak mendengarkan kalimatku ini.

Tampaknya cinta telah tumbuh, bersemi di bawah pohon sakura ini. "Daniel, kamu nggak capek apa habis lari kek gitu?" tanyaku sambil menikmati secangkir kopi hangat.

"Ya capeklah, aku larinya udah kenceng gitu. Eh, kamunya malah kek siput." tutur katanya bikin aku kesal dan melemparnya dengan kertas ujian ku tadi. Dia hanya tersenyum, dan kami berdua kembali menikmati secangkir kopi hangat.

Pemandangan hari ini benar-benar indah, lihat matahari yang berada di ujung gedung sana. Dia melepaskan cahaya dan membuatnya jatuh ke bumi, matahari sore itu memang terasa sangat hangat. Cahayanya lagi-lagi menyapaku, kali ini aku duduk di belakang Daniel. Dan membiarkannya terkena cahaya matahari itu.

Dia hanya tersenyum melihatku, menatapku lekat dan membaringkan tubuhnya di atas hijaunya rumput dan indahnya pohon sakura. "Sinta, bangunin aku kalau udah mau sore ya." tukasnya sambil menutup mata.

"Heh, yang benar saja. Ini sudah sore Daniel kamu malah mau tidur," kesalku sambil memukulnya dengan beberapa lembar kertas yang aku bawa tadi.

Dia hanya diam tanpa mengatakan apa pun. "Daniel," seruku sambil mengguncang lengannya itu.

"Sinta, lima menit saja kumohon." pintanya padaku. "Enggak, ayo pulang," seruku tanpa henti memukulnya.

Namun, dia tetap tidak mendengarkan ku. Dengan cepat dia menangkap tanganku yang terus memukulnya, dan menggenggamnya begitu saja. "Lima menit saja Sinta Sabrina, kumohon." bujuknya yang akhirnya aku hanya menurut saja.

Gimana nggak nurut, di menaruh tanganku tepat di bawah pipinya. Andai dia tahu kalau aku benar-benar merasa kacau sekarang, jantungku semakin bersetak hebat, darahku mengalir begitu cepat. Belum lagi wajahku, aku yakin saat ini wajahku sudah memerah seperti tomat.

Perlahan aku berhasil mengendalikan perasaanku, sesekali aku melihatnya. Mandangnya dengan seksama, pria ini terlihat sangat tampan dan mempesona. Mata indahnya, hidung mancungnya, wajah tegas dan rambut yang sedikit berantakan.

Apakah semua pria seperti ini, menyenangkan dan perhatian. Tidak, dia adalah pria jahil, sering mengataiku seperti siput dan terkadang memanggilku dengan sebutan acil. Acil adalah singkatan dari anak kecil. Dia sering melakukannya padaku, di waktu yang bersamaan aku juga bahagia dengan candaannya itu.

"Berhenti memandangi ku Sinta, atau kamu akan menyukaiku." seru pria itu dengan senyum jahilnya.

Sontak aku memukulnya tanpa ampun kali ini, tak akan ku biarkan pria ini membuat jantungku berdetak hebat lagi. Tak akan ku biarkan dia membuat pipiku semerah tomat lagi, sudah cukup kali ini. Aku akan menghabisinya, dia akan meminta maaf kali ini karena kesalahannya.

"Baiklah, maafkan aku. Bisakah kamu berhenti memukul ku Sinta, tanganmu sudah menyakitiku dari tadi." serunya dengan wajah melasnya itu.

Aku berhenti memukul lengannya sekarang. Tapi, dia tidak akan lolos dari omelanku. Tolonglah, aku kesulitan untuk mengendalikan perasaanku. Pria ini membuatku kehilangan akal, kehadirannya membuat duniaku berwarna. Tapi, terima kasih untuk warna yang kau beri di sini, di bawah pohon sakura ini.

Ku harap, perasaan ini adalah perasaan yang baik untukku.



Cinta Di Penghujung Musim (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang