「 ✦ Adu Mulut ✦ 」

54 35 4
                                    

Ini bukan tentang siapa yang mengawali
Namun, ini adalah tentang siapa yang akan menurukan ego dalam diri.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Suara alat masak yang beradu dari arah dapur menghiasi suasana pagi ini, atau mungkin lebih tepatnya dini hari ini.

Dini hari? Benar sekali.

Matahari masih malu-malu memunculkan tampang perkasanya, begitupula dengan burung-burung yang terlelap disarangnya. Bahkan ayam jantanpun masih enggan untuk bangun dan berkokok ria. Namun pemuda dengan apron berwarna abu-abu itu dengan semangat menyiapkan makanan untuk sarapan.

Tap! Tap! Tap!

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Rea mengangkat salah satu alisnya ketika melirik jarum jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul 4 lebih 10 menit. Tumben, pikirnya heran.

Setelah bunyi itu berhenti, kini terdengar suara seseorang yang sedang menguap sambil menggumamkan sesuatu, dibarengi dengan decitan kursi yang ditarik perlahan.

"Lho nghapahin phaghi-paghi udhah glontenghan?" Gea kembali menguap. Tentu saja ia masih mengantuk, karena biasanya gadis itu akan terbangun ketika pukul 5 pagi. Rea menengok singkat kearah adiknya yang tengah menahan kantuk. "Mandi gih," titahnya.

Meski Rea sudah beberapa kali menyuruh Gea untuk mandi ataupun sekedar mencuci muka saja, gadis itu tetap kekeh duduk di meja makan dengan menopang wajah lesunya menggunakan tangan. Hingga sarapan yang dibuatnya matang, Gea tetap setia duduk manis disana.

"Makan, jangan tidur mulu" cibir Rea sambil menyajikan sepiring french toast dan segelas susu dihadapan Gea. Dengan mata yang masih merem-merem-melek Gea menyantap roti panggang itu dengan hikmat.

"Semalem lo tidur jam berapa?" tanyanya memecah keheningan. Bukan sekedar basa-basi Rea menanyakan hal sepele itu pada Gea, tentu terbesit perasaan khawatir dalam dirinya setelah melihat dengan jelas lingkar mata Gea yang menghitam.

Sejak kecil, saudaranya itu sering sakit-sakitan, tak jarang pula sampai harus dirawat di rumah sakit, dan penyebab sakitnya pun bisa muncul dari sesuatu yang sangat sederhana, misalnya kurang tidur. Jadi jangan heran jika tiba-tiba Rea nampak perhatian seperti saat ini.

"Ditanya tuh jawab."

Gea berdecak, kemudian menggaruk rambutnya kasar. "Jam 12-an pokoknya."

Rea menghela nafas panjang, kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati rak dapur yang berada tepat disebelah dispenser air. Di mana pada rak itu, terdapat berbagai macam obat-obatan, mulai dari obat herbal sampai kimia. Meski persediaannya tak sebanyak dulu, tapi Rea rasa semua itu sudah terbilang cukup untuk stok 2 tahunan.

"Bawa, jaga-jaga kalo kepala lo sakit pas sekolah." Pemuda itu menyerahkan satu tablet obat penurun panas dan pereda sakit kepala pada Gea. Rea bukan bermaksud mendo'akan, hanya antisipasi.

Setelah menerima benda itu, Gea kembali melahap roti panggangnya sampai bersih tak lupa ia juga meminum segelas susu tadi hingga tak tersisa. Sekarang matanya terlihat lebih genjreng, begitupun raganya yang sudah tidak terlalu lesu seperti sebelumnya.

"Dah, cepetan siap-siap sana." Rea menumpuk piring-piring kotor menjadi satu, sebelum membawa semua benda lepek itu ke wastafel.

"Iya iya sabar dong," jawab Gea.

"Gue tunggu sampe jam setengah 6, kalo belum kelar gue tinggal."

Gea mengerutkan keningnya sambil menatap Rea penuh curiga. "Tampang-tampang lo kayak orang lagi dikejar waktu gitu, lo mau ngapain sih?" tanyanya ketus.

BECOME A DOCTOR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang