Lisan adalah bagian yang paling mengerikan dari setiap manusia.
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
"Hufttt...." Entah untuk keberapa kalinya Gea kembali menghela nafas panjang. Kepalanya sudah pening menghadapi soal-soal yang berjajar di meja belajarnya.
Sesekali netranya melirik pada jam weker miliknya, berharap waktu akan cepat berputar dan berlalu. Namun nyatanya setiap kali Gea menengok ke arah jarum jam, benda itu seperti terlihat tidak bergerak sama sekali.
"Hufttt...." Lagi-lagi ia menghela nafas panjang. Gadis itu benar-benar muak dengan semua lembaran kertas putih yang ada di hadapannya, ia ingin menghirup udara segar meski hanya sebentar.
Kriet!
Pintu terbuka, menampilkan sosok pemuda dengan apron yang menempel di raganya. "Makan malam." 2 patah kata keluar dari bibir pemuda itu sebelum akhirnya kembali meninggalkan Gea di dalam kamarnya dengan keadaan pintu kamar sedikit terbuka.
Tanpa basa-basi lagi, Gea segera bangkit dari tempatnya belajar. Ia melangkah dengan riangnya meski hanya untuk keluar dari kamar. "Malam ini makan apa?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Omurice." Gea tersenyum lebar, belakangan ini Rea selalu memasakkan apa yang ia inginkan. Tapi, sayangnya hal itu hanya bertahan selama 2 minggu saja. Gea pikir Rea akan selalu seperti itu seterusnya.
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Terhitung, malam ini telah memasuki minggu ke-4 di mana Gea kembali menghadapi berbagai jenis contoh soal SNBT yang bisa membuat kepalanya meledak kapan saja. Namun tentu saja kali ini berbeda dari biasanya, sebab sudah tidak ada lagi seorang Rea yang akan memasak dan memanggilnya untuk makan malam.
Bukan karena ia tak lagi tinggal serumah dengan Rea, tapi sekarang saudaranya itu sangat jarang di rumah, dan hanya akan terlihat batang hidungnya ketika pagi hari saja, setelahnya pemuda itu akan menghilang lagi.
Bagaimana Gea tidak curiga dengan perubahan sikap Rea?
Selain ia jarang di rumah, Rea yang sekarang juga sering naik pitam apalagi ketika mengetahui Gea tidak melakukan hal sesuai dengan apa yang Rea perintah atau harapkan.
Entah sejak kapan saudaranya bersikap demikian. Gea juga tidak tahu apa motif dan tujuan Rea yang selalu menuntutnya menjadi 'paling terbaik', terlebih dalam nilai dan prestasi.
Rea yang selalu menuntut, tentu hal itu membuat Gea jengkel setengah mati. Ingin sekali ia tidak melakukan apa yang kakaknya itu perintahkan, tapi pasti nanti Gea akan kena marah habis-habisan.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan panjang.
Gea menoleh ke arah pintu kamarnya. Sepertinya ada seseorang di sana. Gadis itu beranjak dari duduknya, kemudian melangkah perlahan mendekati pintu kamar. Ketika jemarinya sudah memegang gagang pintu, Gea tiba-tiba teringat akan satu hal.
Rea nggak pulang malam ini.
Gadis itu menelan salivanya kasar. Kemudian ia mengurungkan niatnya untuk membukakan pintu. Keringat sebesar biji jagung langsung bercucuran membasahi keningnya.
"Ge, lo udah tidur?" Gea menajamkan indra pendengarannya. Ia merasa bunyi yang ditangkap telinganya itu adalah suara Rea. Dengan takut-takut, Gea mencoba buka suara. "Itu lo, Re?"
"Iya." Sudah Gea pastikan pemilik suara itu adalah saudaranya. Jadi tanpa pikir panjang lagi, ia langsung membuka pintu. "Gue kira lo nggak bakal pu--" suara Gea tercekat ketika melihat rupa seseorang yang berdiri tepat di depannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A DOCTOR [TERBIT]
Teen Fiction•--Dilarang mengcopy ataupun plagiat dari segi apapun, karena author buatnya juga dari ide sendiri--• •--Berikan kritik dan masukan secukupnya, jangan lupa pake tata bahasa yang baik dan sopan yaa--• •--Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan k...