Cara terbaik untuk mengetahui apakah kamu dapat memercayai seseorang adalah dengan memercayai mereka.
--Ernest Hemingway
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
"Rea, kamu nggak ada niatan menghubungi Gea?" tanya Mama pada seorang pemuda yang kebetulan saat itu sedang membantunya membersihkan area dapur.
Rea menoleh, ia terdiam sejenak sebelum mengidikkan bahunya. "Nggak tau deh, Ma. Lagi pula setiap Rea telfon Gea, yang angkat pasti tante Mawar."
Mama ber'o'ria, sebenarnya wanita itu tidak terlalu tahu menahu tentang masalah yang sedang terjadi di keluarga anak asuhnya itu. Meski terdapat gejolak penasaran di dalam lubuk hatinya, Mama tetap menahan lisannya untuk bertanya-tanya pada Rea. Kecuali Rea memilih bercerita karena kemauannya sendiri pada Mama.
Pemuda itu telah menyelesaikan tugas menyapunya, ia mengembalikan sapu berwarna hijau itu pada tempatnya. Kemudian ia lanjut mengambil kain pel untuk mengkilapkan kembali lantai yang sudah terlihat kusam itu.
"Besok aja kali ngepelnya, istirahat dulu sana. Baru juga pulang kerja," pesan Mama. Namun sepertinya Rea sedang tidak ingin mendengarkan nasihat dari orang-orang, ia terus menggerakkan kain pel maju-mundur hingga lantai yang berada di depan ujung kakinya itu bersih dan kinclong.
Wanita paruh baya itu hanya bisa menghela nafas panjang. Mama akui Rea memang anak yang rajin, tapi kadang anak itu terlalu rajin sampai melupakan batas kemampuan fisiknya sendiri.
"Udah Re, biar Mbak Ayun aja yang ngelanjutin."
"Nggak papa, Ma. Nanggung tinggal dikit ini." Padahal kenyataannya masih banyak bagian yang belum terkena kain pel.
Setiap kali alat yang ia gunakan untuk mengepel itu dirasa sudah kering, Rea kembali mencelupkan kain pel pada ember berisi air sabun. "Eng, Mama," panggil Rea.
"Kenapa?"
"Rea boleh disini 1 bulan lagi nggak?"
Mama mengangkat salah satu alisnya, "boleh. Ngapain kamu izin segala? Selama kamu butuh tempat tinggal untuk dirimu sendiri tidur aja di sini. Lagian kalo ada kamu, Mama jadi ada temen ngobrol."
Senyum bahagia terlukis di wajahnya. Rea sangat berterima kasih pada Mama karena sudah hampir 8 bulan ini, wanita itu telah mengizinkan Rea untuk tinggal di panti. Dan ketika mendengar Mama yang lagi-lagi memperbolehkan dirinya untuk tinggal lebih lama, tentu membuat dirinya bersemangat. "Makasih, Ma!"
"Iya, sama-sama."
Rea melanjutkan kegiatannya mengepel lantai, meski Mama kembali menasihatinya. "Keras kepala banget kamu, ya. Sudah Mama bilang gausah masih aja dilanjutin, hadehh!"
"Iya Ma. Nanti kalo udah sampe pojokan situ, Rea juga udahan ngepelnya." Wanita itu geleng-geleng kepala mendengar penuturan Rea. Menurutnya tenaga Rea seperti tidak ada habisnya.
Mama masih mengamati Rea dengan lekat, meskipun tangannya sendiri tengah sibuk mengelap perabot masak yang masih basah setelah dicuci. Seriusan dia nggak capek?
Glontang!
Terlalu serius mengamati Rea sampai-sampai Mama tak sadar jika tangannya menyenggol sebuah baskom basah yang akan ia keringkan. Ketika hendak meraih benda itu, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh lagi. Namun kali ini berasal dari arah berbeda.
Bukan di samping atau di depannya, tapi suara itu bersumber dari benda jatuh yang ada di belakang tubuhnya. Mama menduga itu adalah suara pel yang meleset dari tangan Rea, hingga ahkirnya terjatuh ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A DOCTOR [TERBIT]
Teen Fiction•--Dilarang mengcopy ataupun plagiat dari segi apapun, karena author buatnya juga dari ide sendiri--• •--Berikan kritik dan masukan secukupnya, jangan lupa pake tata bahasa yang baik dan sopan yaa--• •--Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan k...