Apakah kalian masih ingat dengan kata-kata yang sering disebutkan dalam pelajaran semasa duduk di bangku SD? Seperti ini kalimatnya.
"Jangan berburuk sangka pada orang lain."
Apakah kalian mengingatnya?
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Dua hari berlalu setelah kejadian malang yang menimpa kakak beradik itu, keduanya mencoba untuk menjalani keseharian mereka seolah tak terjadi apapun diselumbari hari. Mereka tidak pernah membahas apalagi menceritakan kejadian itu pada orang lain.
Mereka sedang mencoba saling menguatkan satu sama lain untuk berdamai dengan diri sendiri.
Gea yang kelihatannya hanya mengalami luka
fisik ringan, nyatanya juga malah mengalami luka mental. Meski kedua luka itu sama-sama ringan tapi tetap saja Rea khawatir dengan kondisi saudaranya itu.Untuk kesekian kalinya Rea kembali memeras handuk kecil berwarna putih yang ia manfaatkan sebagai kompresan, sebelum ia letakkan lagi di kening Gea. Yep benar sekali, gadis itu tengah mengalami demam yang selalu naik turun selama dua hari ini.
Sebetulnya Gea sudah meyakinkan Rea berulang kali jika dirinya hanya sedang masuk angin saja. Tapi Rea yang selalu berpegang teguh pada ucapan hatinya selalu menganggap demam yang dialami Gea itu masuk kedalam kategori demam psikogenik.
Sebab menurut Rea tingkah laku adiknya berubah setelah kejadian kemarin lusa itu. Gea terlihat sering gelisah ketika sedang sendirian, selain itu Gea yang sekarang ini juga agak jaga jarak dengan laki-laki. Bahkan beberapa kali Rea mendapati Gea yang mencoba menghindarinya.
"Besok gue anter lo periksa, ya?"
Gea menoleh, menatap netra Rea dengan intens. "Periksa? Gue nggak papa kok, cuma masuk angin doang. Palingan besok juga udah sembuh." Lagi-lagi Gea menolak ajakan Rea dengan alasan yang sama.
"Keras kepala banget sih lo. Lagian di depan dokter lo juga nggak ngapa-ngapain, kan?" Rea masih mencoba membujuk saudaranya itu agar mau menuruti ajakannya. Ini juga untuk kebaikan Gea sendiri, benar bukan?
Gadis itu menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal, netranya menatap ke arah langit-langit kamar. Sepertinya ia sedang memikirkan alasan agar bisa mengurungkan niat Rea yang ingin membawanya ke hadapan dokter.
"Nggak mau ah, capek perjalanan!"
"Kan gue yang megang kendali."
"Panas, apalagi kalo posisi macet. Yang ada tambah parah demam gue."
"Yaudah pake taksi."
Oke, satu ronde dimenangkan oleh pemuda itu. Tak ingin kalah begitu saja, Gea kembali memikirkan alasan jitu yang tidak bisa dibantah Rea lagi nantinya.
"Capek nunggu antrian."
"Bisa senderan."
"Capek duduk."
"Bisa tiduran."
"Kalo dimarahin orang gimana?"
"Biar gue yang tangani."
Gea menyerngit, apa-apaan jawaban penuh keyakinan yang terlontar dari bibir Rea itu. Sungguh, ia benar-benar sedang tak ingin beranjak dari tempat tidurnya sekarang ini!
"Males ngomong sama dokternya."
"Gue yang ngomongin."
"Males nunggu antrian obat."
"Bisa delivery."
Rea tersenyum miring, merasa bangga karena kali ia berhasil menang adu mulut dengan Gea. Sedangkan Gea terlihat mengerucutkan bibirnya, kesal dengan Rea yang selalu bisa mematahkan alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A DOCTOR [TERBIT]
Teen Fiction•--Dilarang mengcopy ataupun plagiat dari segi apapun, karena author buatnya juga dari ide sendiri--• •--Berikan kritik dan masukan secukupnya, jangan lupa pake tata bahasa yang baik dan sopan yaa--• •--Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan k...